Cerita Pendek, Sebuah Rasa
Oleh M. Fathir Ma’ruf Nurasykim
Sore itu kulihat lelah bercampur keringat di
wajahnya, namun ia sempatkan melempar senyum kearahku, seketika bibirku melebar
tandaku membalas, walau aku yakin, senyumnya tidak biasa. Aku mencoba mencari
penyebabnya, rasa seganku muncul untuk menanyakan langsung kepadanya, ada apa. Hanya
sekilas, tapi seakan lama kurasakan tatapan dan senyuman itu, siang dan
malam aku memikirkannya. Setibanya di rumah, hatiku pun tak berhenti bertanya adakah
kesalahanku, atau apa ada orang yang mengganggunya, ku coba berkirim pesan namun
tak ada jawaban yang ku terima. Aku menunggu dan terus seperti itu. Hingga rasa
kantuk tak dapat lagi kutahan dan kurebahkan badanku di atas kasur bermotif
bunga lavender kesukaanku, dan aku tertidur pulas.
Kurasakan dinginnya malam, aku mendengar suara
pintu terbuka, ku hiraukan namun aku tak bangun, dalam hati aku meyakini ibu lah
yang membuka pintu kamar kecil. Biasa ibuku tengah malam seperti itu. Suara itu
membuatku tak bangun dari tempat tidurku, namun mataku seolah memaksa terbuka.
Dan aku pun terbangun, kunyalakan lampu kamarku dan keluar dari kamar namun tak
kulihat ibuku, “mungkin ibu sudah kembali ke kamar”, gumamku. Segera aku pergi
ke kamar mandi di ujung ruangan, samping gudang pakaian belakang. Kubersihkan
muka dan berkumur lalu kuambil air wudhu berniat untuk sujud bersimpuh,
tiba-tiba aku teringat pesannya tentang keutamaan sholat malam dan faedah bagi
siapa yang mengerjakannya. Semangatku mulai naik, aku kembali ke kamar, kuambil
mukena putih dan sejadah biru pemberiannya dan kudekatkan diriku kepada Sang
Pencipta, aku bermanja kepada Yang Maha Kuasa, malam yang intens ku manfaatkan
mengadu kepada-Nya. Segala persoalan hidup yang tak mungkin tak ada penyelesaiannya
ku laporkan, setelah itu hatiku kembali memikirkan kejadian sore itu. Entah
kenapa rasa penasaranku malam ini lebih hebat dari sore kemarin. Kagumku dan cintaku
dalam diam, seakan berharap ingin selalu berbicara dengannya, tersentak dalam sadarku akan dosa yang dicatatkan malaikat, mengawasi setiap
detik kesibukanku.
Seperti inikah sebuah hati yang sudah siap, menyisakan ruang untuk saling melengkapi dan berbagi
kasih. Padahal aku telah merasakan sebuah pengkhianatan yang cukup keji. Namun,
aku tidak bisa membohongi hati, walaupun aku tau perasaan tidak sekritis
logika, hanya hasrat dan terlalu cinta yang di bawa. Terkadang aku pun bingung,
kapankah saat saat yang tepat untuk menggunakan logika atau perasaan.
Masih sendiri berdiri di sudut
lorong, bingung dan mencari arti dari sebuah teka-teki perasaan hampir selalu
bergumul dengan kenyataan yang semakin terang arah tujuan yang akan
terjadi. Namun, derapan suara sepatu perempuan berdengung di kedua telinga. Dan
kudengar degupan detak jantung mulai kencang dan sulit bagiku untuk mengatur
aliran nafas yang semakin tidak beraturan. Perasaan yang bercampur, logika yang
berkecamuk. Kulihat dia berjalan namun tidak melihat ke arah ku, dan aku memberanikan
diri memanggilnya. Sontak seluruh tubuhku bereaksi hebat, bergetar, gugup dan gagap, mataku pun tak berani bertatapan langsung dengannya. Aku pun bertanya dalam hati, "apakah ini cinta sejati, suci nan alami?, ataukah hanya ingin memiliki dan menguasai?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar