Layanan Bimbingan dan Konseling Client Centered
Penemu
teori ini adalah Carl Ransom Rogers (1902-1987). Rogers mengembangkan
kepercayaan pada potensi semua individu untuk berkembang dalam kondisi yang
suportif, penuh hormat, dan memercayai secara tulus. Pada 1942, Rogers memublikasikan
idenya dalam buku pertamanya Counseling and Psychotheraphy (konseling
dan psikoterapi) dan disusul oleh Client-Centered Therapy pada 1951,
sehingga menguatkan posisinya sebagai tokoh terkemuka dalam dunia konseling
dan psikoterapi.
Prinsip-prinsip dasar pendekatan
berfokus pribadi sekarang luas diterima sebagai basis pembentukan relasi
positif yang memberdayakan dan sangat berpengaruh pada pendidikan, ketetapan
kesehatan yang diatur undang-undang maupun sukarela, dan layanan sosial. Sebagai
orientasi terapeutik, pendekatan ini mempunyai pengikut yang luas, dengan
praktisi terdapat di semua benua.
Client-centred bagian dari teori
humanistik dan dipandang sebagai “third force” (kekuatan ketiga) dalam
psikologi, dan merupakan alternatif dari kedua kekuatan yang dewasa ini
dominan (psikoanalisis dan behavioristik).
Perkembangan ini diasosiasikan
dengan evolusi signifikan dalam karakter pendekatan itu sendiri. Sejak awal
konsepsi non-direktif mengandung kontradiktif. Bagaimana mungkin seseorang
yang berada dalam hubungan yang rapat dengan orang lain gagal memengaruhi
orang tersebut?
Studi yang dilakukan oleh Traux (1966) dan yang lainnya
menyarankan bahwa seharusnya konselor non-direktif secara substil menguatkan
pernyataan tertentu yang dibuat oleh klien, dan tidak menawarkan ketertarikan,
penguatan atau persetujuan mereka ketika pernyataan dengan tipe yang berbeda
dibuat. Karena itu terdapat masalah susbtansial yang inheren dalam konsep ke-nondirektif-an.
Latar Belakang Sejarah
Pendekatan
terpusat-pada-pribadi didasarkan suatu konsep dari psikologi humanistik, dan pendekatan ini juga
bisa diklasifikasikan sebagai cabang dari perspektif eksistensial. Pada awal
tahun 1940 rogers mengembangkan apa yang disebut nondirective counseling
(konseling yang non direktif) sebagai reaksi atas pendekatan yang direktif dan
pendekatan psikoanalitik. Teorinya memberi tekanan pada kreasi konselor yang
beriklim permisif dan non intervensi. Orang-orang menjadi geger ketika rogers
menantang asumsi dasar bahwa “konselor tahu apa yang terbaik”.
Dia juga
menantang kesahihan dari prosedur teraupetik yang telah secara umum bisa
diterima seperti nasihat, saran, imbauan, pemberian pengajaran, diagnosis dan
tafsiran. Didasarkan pada keyakinannya bahwa konsep dan prosedur diagnostic
kurang memadai, berprasangka, dan seringkali disalahgunakan maka pendekatannya
tidak menggunakan konsep dan prosedur itu. Konselor non-direktif menghindar
dari usaha untuk melibatkan dirinya dengan urusan klien dan sebagai gantinya
mereka memfokuskan terutama pada
merefleksi dan komunikasi verbal dan non-verbal dari klien.
Asumsi dasar
Rogers adalah bahwa orang itu secara esensial bisa dipercaya, bahwa mereka
memiliki potensi yang besar untuk bisa memahami diri mereka sendiri dan
menyelesaikan masalah mereka tanpa intervensi langsung dari pihak terapis, dan
bahwa mereka ada kemampuan untuk tumbuh sesuai dengan arahan mereka sendiri
apabila mereka terlibat dalam hubungan terapeutik. Sejak semula ia menekankan
sikap dan karakteristik pribadi terapis dan kualitas hubungan klien/terapis
sebagai penetu utama akan hasil proses terapeutik.
Mula
mula perhatian rogers (1942) adalah menangani hal-hal yang berhubungan dengan
anak-anak dan praktek konseling individual dan psikoterapi. Kemudian
dikembangkannya teori kepribadian ini pada praktek konseling individual. Untuk
merefleksikan fokusnya ini dia namakan pendekatannya ini terapi
terpusat-pada-klien.
Selama
tahun 1950-an dan 1960-an Rogers beserta teman-temannya meneruskan untuk
menguji hipotesis yang melandasi pendekatan terpusat-pada-klien dengan
mengadakan penelitian yang ekstensif pada proses dan hasil akhir dari
psikoterapi. Yang menarik bagi Rogers adalah meneliti cara yang paling baik
bagi seseorang untuk belajar dalam psikoterapi, dan diapun memusatkan kajiannya
pada kualitas hubngan klien/terapis sebagai katalisator yang membawa ke
berubahnya kepribadian.
Oleh
karena pengaruh Rogers yang makin meluas itu, termasuk minatnya pada bagaiamana
orang bisa mendapatkan, memiliki, berbagi, atau mengalahkan kekuasaan dan
control pada orang lain dan diri sendiri, teorinya menjadi dikenal orang dengan
nama pendekatan terpusat-pada –pribadi
(person-centered approach).
Eksistensialisme dan Humanisme
Di
kalangan konselor dari “kekuatan ketiga” ada minat yang makin meningkat
mengenai terapi sebagai alternative dari pendekatan psikoanalitik dan
behavioral. Baik terapi terpusat-pada-pribadi maupun terapi gestalt
berorientasi pada pengalaman dan hubungan. Keduanya adalah pendekatan
humanistik yang tumbuh dari latar belakang falsafah dari eksistensial.
Sebagian
disebabkan oleh hubungan sejarah dan sebagian yang lagi karena fungsinya
sebagai wakil dari pemikiran eksistensialis dan humanistic tidak selamanya
secara jelas memilah-milah pandang mereka, maka kaitan ekitensialisme dan
humanisme telah cenderung membingungkan bagi mahasiswa maupun teoritikus. Kedua
pandangan banyak memiliki kesamaan, namun juga ada perbedaan filosofis yang
signifikan di antara keduanya. Keduanya juga menghormati pengalaman subjektif
dari si klien, demikian juga mereka ada kepercayaan pada kapasitas klien untuk
membuat pilihan sadar yang konstruktif dan positif. Keduanya memiliki kesamaan
dalam memberi tekanan-tekanan pada kata-kata kebebasan, pilihan, nilai,
pertanggungjawaban pribadi, otonomi, tujuan, dan makna.
Perbedaannya adalah
bahwa kaum ekstensialis berkeyakinan bahwa kita dihadapkan pada kecemasan dalam
menentukan pilihan demi terciptanya identitas yang tak terjamin keamanannya.
Kebalikannya, pendapat kaum humanis agak kurang membangkitkn kecemasan, yaitu
bahwa dalam diri kita masing-masing ada sifat dan potensi yang bisa kita
atualisasikan dan lewat keduanya itu bisa kita dapatkan makna.
Pandangan
yang melandasi humanistic terdapat dalam suatu ilustrasi tentang bagaimana
sebutir biji pohon eks (acorn), kalau diberi kondisi perawatan pertumbuhan yang
selayaknya, secara otomatis tumbuh positif, secara alami terdorong untuk
beraktualisasi menjadi sebatang pohon oak. Sebaliknya, menurut seorang
eksistensialis, tidak ada yang dinamakan kita “berada”, tidak ada “sifat” yang
internal yang bisa kita, dan kita dihadapkan setiap saat dengan sebuah pilihan
tentang apa yang harus dibuat dengan kondisi yang ada itu.[5]
Konsep Pokok
C.R
Rogers, memandang manusia pada dasarnya rasional, socialized, ingin maju
dan realistis. Manusia dipandang memiliki martabat tinggi, memiliki hak untuk
menyatakan keluhan da nisi hatinya.
Rogers
sendiri tidak dapat menerima pandangan yang mengatakan bahwa individu tidak
lebih dari deretan sebab yang kompleks yang ditentukan sebelumnya. Ia
mengartikan bahwa kebebasan sebagai inner thing yang ada pada setiap
orang yang hidup, sadar akan kemampuan dirinya untuk hidup di sini dan kini,
menurut pilihannya sendiri.
Sebagaimana
gambaran dari latar belakang dan perkembangan teori yang telah disebutkan bahwa
konsep yang paling mendasar dan inti dari teori ini adalah menekankan pada
kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan
masalah dirinya. Individu dapat menghadapi karakteristiknya yang tidak dapat
diterima tanpa perasaan terancam.
Inti
dari teori ini adalah agar klien dapat melakukan penerimaan diri dari
nilai-nilainya, dan dapat mengubah aspek-aspek dirinya yang dipilihnya sendiri
sebagai modifikasi yang diperlukan.
Karakteristik Kegiatan Konseling
Pendekatan
yang dilakukan oleh Rogers ialah fenomenologis, sehingga segala sesuatu yang
ada di lingkungan turut di perhitungkan. Latar belakang individu, nilai, norma
yang dianut serta segala sesuatu yang mewarnai tingkah laku klien akan menjadi
landasan penting dalam mengadakan terapi. Harper mengemukakan tujuh
karakteristik penyuluhan yang berpusat pada klien, yaitu:
- Ada usaha yang gigih dan konsisten dari penyuluh untuk memahami isi pembicaraan dan perasaan yang diungkapkan klien.
- Ada usaha untuk mengkomunikasikan hasil usaha pemahaman tadi pada klien, melalui kata-kata atau dengan sikap yang ramah dan menarik.
- Menyajikan hasil sintese dari perasaan yang telah diungkapkannya.
- Tidak memberikan tafsiran lain, kecuali mengikhtisarkan perasaan klien.
- Penyuluh tidak mencoba mengusulkan wawasan secara langsung, atau memberi nasehat, hadiah, atau mengajari suatu program.
Iklim
yang dibutuhkan yang dapat melepaskan kecenderungan membentuk dan mewujudkan
diri itu ditandai oleh tiga sikap penyuluh, yaitu keaslian, penghargaan
positif tanpa syarat, dan empati.
Unsur pertama,
yaitu keaslian, kesungguhan, atau kongruensi penyuluh atau fasilitator.
Pendeknya, makin banyak penyuluh itu melibatkan dirinya dalam kelompok sebagai
suatu pribadi, tanpa memasang sikap profesional, makin besarlah kemungkinan
bahwa klien-klien dalam kelompok kitu akan berubah dan bertumbuh secara
konstruktif.
Unsur kedua, penghargaan positif tanpa syarat,
yang berarti penerimaan dan perhatian terhadap peserta. Yang ketiga, pengertian
yang empatik terhadap rangka rujukan para peserta yang bersifat internal dan
subjektif. Penyuluh akan menampakkan empati, apabila dia mampu merasakan secara
teliti perasaan dan makna pribadi yang dinyatakan.
Proses Konseling
Ada kecenderungan untuk memandang penyuluhan yang berpusat pada klien sebagai sesuatu yang statis, metoda dan tekniknya merupakan sistem yang kaku. Tentu saja hal ini tidak benar. Sering terjadi penyuluhan tidak berhasil disebabkan pertalian penyuluh tidak terbentuk.
Pertalian therapeutic yang keliru akan terjadi apabila terdapat:
a) Pertalian yang didasari kasih yang mendalam.
b) Pertalian sesama kawan, persahabatan.
c) Pertalian guru murid, superior dan inferior.
d) Pertalian pasien dengan dokter, menunjukkan adanya expert dibidangnya.
F. Ciri-ciri Pendekatan Client-Centered
Rogers
tidak mengemukakan teori client centered sebagai suatu pendekatan terapi
yang tetap dan tuntas. Ia mengharapkan orang lain akan memandang teorinya
sebagai kumpulan prinsip percobaan yang berkaitan dengan perkembangan proses
terapi dan bukan sebagai suatu dogma.
Berikut ini
uraian ciri-ciri pendekatan Client Centered dari Rogers :
- Client dapat bertanggungjawab, memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah dan memilih perliku yang dianggap pantas bagi dirinya.
- Menekankan dunia fenomenal client. Dengan empati dan pemahaman terhadap client, terapis memfokuskan pada persepsi diri client dan persepsi client terhadap dunia.
- Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkana bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoteraputik terjadi karena hubungan konselor dan client. Karena hal ini tidak dapat dilakukan sendirian (client).
- Efektifitas teraputik didasarkan pada sifat-sifat ketulusan, kehangatan, penerimaan nonposesif dan empati yang akurat.
Pendekatan ini
bukanlah suatu sekumpulan teknik ataupun dogma. Tetapi berakar pada sekumpulan
sikap dan kepercayaan dimana dalam proses terapi, terapis dan client
memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.
Tujuan Pendekatan Terapi
Terdapat
beberapa tujuan pendekatan terapi Client Centered yaitu sebagai berikut :
a. Keterbukaan pada Pengalaman
Sebagai lawan dari kebertahanan, keterbukaan
pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana
kenyataan itu hadir di luar dirinya.
b. Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien
dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Dengan meningknya
keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen
kepada dirinya sendiri pun muali timbul.
c. Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan
kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri
sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian
pada pusat dirinya dari pada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar.
Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari
dirinya sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke
dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi
hidupnya.
d. Kesediaan untuk menjadi Satu Proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian
merupakan lawan dari konsep diri sebagai produk. Walaupun klien boleh jadi
menjalani terapi untuk mencari sejenis formula guna membangun keadaan berhasil
dan berbahagia, tapi mereka menjadi sadar bahwa peretumbuhan adalah suatu
proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses
pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri
bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.
Kesimpulan
Terapi client-centered
berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita
memiliki dorongan bawaan kepada aktualisasi diri. Selain itu, Rogers memandang
manusia secara fenomenologis, yakni ia beranggapan bahwa manusia menyusun
dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang
termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori Rogers
berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami
faktor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjad penyebab ketidakbahagiaan.
Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan
pribadi yang konstruktif.
Terapi client-centered
menitikberatkan hubungan pribadi antara klien dan terapis, sikap-sikap
terapis lebih penting daripada teknik-teknik, pengetahuan atau teori. Jika
terapis menunjukkan dan mengomunikasikan kepada kliennya bahwa terapis adalah
(1) pribadi yang selaras, (2) secara hangat dan tak bersyarat menerima
perasaan-perasaan dan kepribadian klien, (3) mampu mempersepsi secara peka dan
tepat dunia klien sebagaimana klien mempersepsi dunianya.
Very good
BalasHapusMemuaskan dan cocok untuk di kuasai oleh para
BalasHapuscalon konselor muda
Sangat mendidik artikelnya pak :)
BalasHapus