Bimbingan Konseling, Konseling Naratif
Inspirasi utama konseling atau terapi naratif dengan pendekatan sosial konstruksionisme berasal dari karya Michel White dan David Epson (1990) yang berasal dari Australia dan Serlandia Baru.[4] Terapi naratif pada beberapa buku merupakan bagian dari Family Therapy, seperti yang terdapat pada buku Counseling karya Samuel T. Gladding halaman 311. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini pun sejalan dengan White dan Epson yang mempunyai latar belakang dan pendidikan terapi keluarga. Walaupun latar belakangnya adalah terapi keluarga, ide mereka dapat dan telah digunakan untuk menghadapi individu, pasangan, dan kelompok. Seiring dengan publikasi buku-buku pegangan mereka Narrative Means to Theraoeutic Ends, pada 1990, pendekatan mereka telah menyebar di kalangan mahasiswa dengan buku yang ditulis oleh Parry dan Doan (1994) dan Monk, etal. (1996).[5]
Konsep Dasar
Peran Stories
Psikolog
Jerome Bruner (1990) berpendapat bahwa terdapat dua cara untuk mengetahui
dunia. Ada yang disebutnya pengetahuan paradigmatic (paradigmatic) yang
melibatkan penciptaan model abstrak dari realitas. Kemudian ada yang disebutnya
pengetahuan narasi (narrative), yang didasarkan kepada pemahaman
terhadap dunia memalui bercerita. Bruner berpendapat bahwa kehidupan
sehari-hari kita penuh dengan cerita. Kita bercerita kepada diri dan orang lain
sepanjang waktu. Kita menstruktur, menyimpan, dan mengkomunikasikan pengalaman
kita melalui cerita.[6]
Akan tetapi McLeod membedakan definisi dari kata narasi
dan cerita (story). Menurutnya, cerita bukan hanya sekedar peristiwa
kronologis. Sebuah cerita disusun dengan baik memiliki tingkat kualitas
dramatis, dan mencakup keraguan, perasaan, dan sesuatu yang berkaitan dengan
kepribadian si penutur dan karakter yang ada dalam cerita tersebut. Selalu ada
“moral” (pesan) dari cerita di sana. Sebuah cerita juga memiliki elemen
evaluative. Sebuah cerita dituturkan untuk “menunjukkan sesuatu”. Sebaliknya,
narasi adalah sebuah istilah yang lebih inklusif yang digunakan untuk
menggambarkan proses besar pembuatan laporan yang berkenaan apa yang telah
terjadi. Sebuah narasi dapat terdiri dari beberapa cerita yang terpisah dan berbeda
satu dengan yang lain, dan sangat mungkin mencakup komentar atas cerita-cerita
tersebut dan penjelasan. Karena
itu semua yang diceritakan oleh klien dalam sesi konseling dapat dipandang
sebagai narasi miliknya, yang mungkin terdiri dari tiga atau empat cerita yang
berbeda dan terpisah satu dengan yang lain.[7]
Mendengarkan
dengan pikiran terbuka
Semua teori
kontruksionis sosial menekankan pada klien untuk mendengarkan tanpa menghakimi
atau menyalahkan , menegaskan dan menghargai mereka. Lindsley (1994) menekankan
bahwa terapis dapat mendorong klien untuk mempertimbangkan kembali peniaian
absolut yang bergerak ke arah melihat keduanya “baik” dan
“buruk” unsur-unsur dalam situasi. Terapis Naratif melakukan upaya tanpa
memaksakan sistem nilai mereka dan interpretasi. Mereka ingin menciptakan
makna dan kemungkinan-kemungkinan baru klien yang berbagi cerita bukan dari
prasangka dan pada akhirnya sebuah teori dan nilai penting dipaksakan.Walaupun
terapis Naratif membawa kepada usaha terapis tentang sikap tertentu
seperti: optimisme, hormat, keingintahuan, ketekunan, dan menghargai klien
untuk mengetahui, mereka dapat mendengarkan masalah-kisah kejenuhan klien tanpa
terjebak. Sebagai terapis Naratif, dalam mendengarkan cerita klien, mereka
tetap waspada untuk rincian yang memberikan bukti dari kompetensi klien
dalam melawan masalah yang menindas.[8]
Hakikat Manusia
Berdasarkan
konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan konseling naratif
ini didasarkan atas asumsi sebagai barikut:
1.
Perspektif naratif berfokus
pada kemampuan manusia untuk berpikir kreatif dan imajinatif. Terapis tidak pernah menganggap bahwa ia tahu lebih
banyak tentang kehidupan klien daripada yang mereka lakukan.
2.
Klien adalah penafsir utama pengalaman mereka
sendiri.
3. Praktisi Naratif melihat orang
sebagai agen aktif yang mampu memperoleh makna keluar dari dunia
pengalaman mereka. Dengan demikian, proses perubahan dapat difasilitasi, tetapi
tidak diarahkan oleh terapis.[9]
4. Pengalaman dan makna
pribadi tak hanya dibentuk oleh individu , tapi juga oleh sesuatu yang tertanam
dalam budaya dan dibentuk oleh budaya. Manusia adalah makhluk sosial, identitas
pribadi merupakan produk budaya, sebagaimana halnya dengan posisi seseorang
dalam masyarakat dan sumber linguistik yang tersedia.[10]
Pribadi Sehat dan Bermasalah Menurut Teori Naratif
·
Pribadi Sehat
1.
Mampu memahami pikiran dan kepercayaan yang
bearasak dari kenenagan awal dan interaksi dalam kehidupan.
2.
Individu yang memahami kehidupan mereka yang
tampaknya teratur didalam dan diluar.
3.
Individu yang mampu mempromosikan
interaksi keluaraga yang sehat dan memberikan pemahaman untuk pembangunan
sosial makna dalam kehidupan pribadi.
·
Pribadi Bermasalah
1.
Individu yang tidak dapat mengeksplorasi ke
dalam diri mereka sendiri.
2.
Individu yang selalu di bayang-bayangi oleh
keinginan atau harapan, aspirasi ketakutan dan luka emosional.
3.
Individu yang tinggal sebagai akibat narasi
pribadi penderitaan, ketakutan, atau tidak berharga.[11]
Tujuan Konseling
Tujuan umum terapi naratif adalah mengundang orang untuk
menggambarkan pengalaman mereka yang baru dan segar. Dalam melakukan ini,
mereka membuka pandangan baru dari apa yang mungkin. Bahasa yang baru ini
memungkinkan klien untuk mengembangkan makna-makna baru sehubugan dengan
masalah pikiran,perasaan dan perilaku (Freedman & Combs,1996).Terapi
Naratif hampir selalu mencakup kesadaran akan dampak dari berbagai aspek
kebudayaan yang dominan pada kehidupan manusia. Praktisi Naratif berusaha untuk
memperluas perspektif dan fokus dan memfasilitasi penemuan atau penciptaan
pilihan baru yang unik bagi orang-orang yang mereka lihat.[12] Di samping itu
terapi ini juga bertujuan untuk menolong seseorang
menyelesaikan transisi kehidupan yang penting serta membantu seseorang
mengarang kembali kisahnya dan menerapkan kisah ini dalam komunitas mereka[13]
Sikap, Peran, dan Tugas Terapis / Konselor
Konsep
perawatan, hormat, rasa
ingin tahu, keterbukaan, empati, kontak dan bahkan terpeson adalah sikap yang harus dimiliki oleh konselor.[14] Dalam proses konseling konselor berperan sebagai orang yang “tidak
tahu-menahu” dalam hubungannya dengan klien; klienlah yang merupakan pakar dari
ceritanya dan bagaimana mengubah semua itu (Anderson dan Goolishian, 1992;
Hoffman, 1992); pada saat terakhir terapi, para terapis kembali diundang
sebagai “konsultan”, untuk membagi pengetahuan mereka demi keuntungan masa
depan klien.[15]
Selanjutnya tugas utama terapis adalah membantu klien mengeksternalisasikan
masalah, untuk melihatnya sebagai cerita yang eksis di luar mereka, terapis
juga bertugas mendekontruksi kisah dominan, mengurangi cengkeramannya atas
seseorang serta membantu klien mengidentifikasi hasil yang unik atau “saat
puncak” (sparkling moment), suatu masa di mana mereka telah berhasil melepaskan
diri dari genggaman kisah dominan.[16] Terapis Naratif
juga cenderung menghindari penggunaan bahasa yang
mengaktifkan diagnosis,penilaian dan intervensi. Fungsi-fungsi seperti
diagnosis, penialian dan intervensi sering memberikan prioritas kepada dokter
itu “kebenaran’ atas pengetahuan klien tentang kehidupan mereka sendiri.
Pendekatan Naratif memberikan penenkanan pada pemahaman klkien, pemahaman
hidup, dan menekankan kembali upaya untuk meramalkan, menafsirkan,dan
patologis. Praktisi Naratif tidak berhati-hati unutuk menyatakan bahwa peran utama
mengambil inisiatif dalam kehidupan orang lain atau bahkan merebut (kekuasaan)
dari klien dalam membawa perubahan (Winslade, Crocket,&Monk,1997).[17]
F.
Peran Klien
Terapis
narasi mengasumsikan klien adalah ahli ketika datang kepada apa yang dia inginkan dalam
hidup. Dalam hal ini berarti konseli berperan aktif dalam konseling karena
klien yang mengetahui dirinya dan
kehidupannya.[18]
Hubungan Terapis dengan Klien
Konseling Narasi
sangat mementingkan kualitas terapis yang membawa kepada usaha
terapi. Beberapa dari termasuk sikap optimisme dan rasa hormat, rasa
ingin tahu dan ketekunan, menghargai pengetahuan klien, dan menciptakan
jenis khusus dari hubungan ditandai dengan dialog pembagian kekuasaan
nyata (Winslade & Monk, 2007). Kolaborasi, kasih Sayang, refleksi, dan penemuan mencirikan
hubungan terapeutik. Jika hubungan ini adalah untuk benar-benar
kolaboratif, terapis perlu menyadari bagaimana kekuasaan memanifestasikan
dirinya dalam praktek profesionalnya. Ini tidak berarti bahwa terapis
tidak memiliki otoritas sebagai seorang profesional. Dia menggunakan
otoritas ini, dengan memperlakukan klien sebagai pakar dalam kehidupan mereka
sendiri. Winslade, Crocket, dan Monk (1997) menggambarkan kolaborasi ini
sebagai coauthoring atau berbagi kekuasaan. Klien berfungsi sebagai
penulis ketika mereka memiliki kewenangan untuk berbicara atas nama mereka
sendiri. Dalam pendekatan naratif, terapis-sebagai-ahli digantikan oleh
klien-sebagai ahli -. Gagasan ini menantang sikap terapis sebagai
seorang ahli semua-bijaksana dan maha tahu. Winslade dan Monk (2007)
menyatakan: "Integritas dari hubungan
konseling demikian dipertahankan sementara klien dihormati sebagai
penulis senior dalam pembangunan dari sebuah narasi alternatif "(hal.
57-58). Klien sering terjebak dalam cerita masalah pola
hidup-kejenuhan tidak bekerja. Terapis memasuki dialog ini dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam upaya untuk memperoleh perspektif,
sumber daya, dan pengalaman unik dari klien.[19]
Tahap-Tahap Konseling
Ini gambaran singkat mengenai langkah-langkah dalam proses terapi narasi
menggambarkan struktur pendekatan narasi (O'Hanlon, 1994, hlm 25-26):
1.
Berkolaborasi dengan konseli untuk datang dengan nama yang dapat diterima bersama untuk masalah
tersebut.
2.
Melambangkan masalah dan
menghubungkan pada keinginan yang menekan dan strategi untuk masalah tersebut.
3.
Menyelidiki bagaimana
masalah telah mengganggu, mendominasi, atau mengecilkan hati/mengecewakan konseli.
4.
Mintalah konseli untuk melihat ceritanya dari perspektif yang berbeda dengan
menawarkan makna alternatif dari peristiwa yang dialaminya.
5.
Temukan saat-saat ketika konseli tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan mencari
pengecualian untuk masalah ini.
6.
Menemukan bukti historis
untuk mendukung pandangan baru dari konselisebagai orang yang cukup
kompeten untuk menantang, mengalahkan, atau keluar dari dominasi atau tekanan
masalah. (Pada tahap ini identitas orang tersebut dan kehidupan cerita mulai
mendapatkan ditulis ulang.)
7.
Meminta konseli untuk berspekulasi mengenai masa depan bagaimana yang bisa diharapkan
dari kekuatan dan kompetensi seseorang. Sehingga konselimenjadi terbebas dari cerita-cerita masalah yang menjenuhkan dari masa
lalu, dan ia dapat membayangkan dan merencanakan untuk masa depan yang kurang
bermasalah.
8.
Menemukan atau menciptakan
audiens untuk memahami dan mendukung cerita baru. Tidaklah cukup untuk membaca
cerita baru. Konseli perlu untuk hidup
baru cerita luar terapi. Karena orang itu masalah awalnya dikembangkan dalam
konteks sosial, adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial dalam
mendukung kisah hidup baru yang telah muncul dalam percakapan dengan terapis.[20]
Teknik-Teknik Konseling
Penerapan
efektif terapi Naratif lebih begantung pada sikap atau perspektif terapis dari pada teknik. Dalam
praktek terapi Naratif, tidak ada
resep, tidak ada penetapan agenda, tidak ada formula yang dapat diikuti terapis
untuk menetapkan hasil yang positif (Drewery & Winslade, 1997). Jika konseling
dilakukan dengan menggunakan pendekatan formula, klien akan merasa bahwa segala sesuatu dilakukan
terhadap mereka dan merasa ditinggalkan dalam percakapan (Monk,
1997). Sebagai suatu pendekatan, konseling Naratif lebih dari
penerapan keterampilan; itu didasarkan pada
karakteristik pribadi terapis yang menciptakan iklim yang mendorong klien untuk
melihat kisah-kisah mereka dari berbagai perspektif. Pendekatan ini juga
merupakan ekspresi sikap etis, yang didasarkan kerangka filosofis. Kerangka
konseptualnya adalah praktek-pratek yang diterapkan untuk membantu klien dalan
menemukan makna-makna baru dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup
mereka(Winslade & Monk,1999).[21]
Kelebihan dan Kelemahan
Teknik Naratif
·
Kelebihan
- Memiliki nilai
- Mendapatkan solution yang lebih cepat
- Lebih fleksibel dan
dapat dikombinasikan dengan pendekatan terapi lain yang cocok
- Bisa diterapkan
di segala jenjang umur dan status sosial
- Cerita dapat ditularkan dari satu orang
ke orang lain, berbentuk sepanjang jalan, dan diberikan
kepada orang sebagai warisan dari keluarga mereka
- Bisa berbagi
perasaan dengan orang lain.
- Mengembangkan
hubungan yang dekat
- Memungkinkan orang
untuk mengenali kemampuan partisipatif
·
Kelemahan
- Cerita bisa dibuat-buat
- Membutuhakan waktu yang panjang
[1] John McLeod, Pengantar Konseling teori dan studi kasus, Jakarta:
Kencana, 2015, Hal. 254
[2] Ibid, hal. 255
[3] Ibid, hal. 263
[4] Ibid, hal. 263
[5] Ibid, hal. 263
[6] Ibid, Hal. 254
[7] Ibid, hal. 255
[8]
http://paul-arjanto.blogspot.co.id/2011/06/teori-dan-pendekatan-naratif.html
[9] Ibid
[11]
http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html
[12] http://paul-arjanto.blogspot.co.id/2011/06/teori-dan-pendekatan-naratif.html
[13] John McLeod, Pengantar Konseling teori dan studi kasus, Jakarta:
Kencana, 2015, Hal. 264
[14] http://paul-arjanto.blogspot.co.id/2011/06/teori-dan-pendekatan-naratif.html
[15] John McLeod, Pengantar Konseling teori dan studi kasus, Jakarta:
Kencana, 2015, Hal. 264
[16] Ibid, hal. 264
[17]
http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html
[18]
http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html
[19]
http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html
[20] http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html
[21] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar