[Latest News][6]

Article
Cerpen
Fiksi
Kebangsaan
Konseling
Politik
Psikologi
Psikoterapi Islam
Relationship

Bimbingan Konseling, Konseling Naratif






Narasi telah menjadi sebuah topik yang luar biasa populer. Terdapat banyak literatur tentang narasi yang ditulis oleh antropolog, sosiologis, sejarawan, dan para pakar dalam studi bahasa, kultur, dan kritik sastra , dan juga oleh para psikolog dan psikoterapis.[1] Konsep narasi telah digunakan dengan cara yang berbeda oleh masing-masing representasi pendekatan konseling dan psikoterapi yang ada. Terdapat tiga jalur perkembangan yang berbeda berkaitan dengan evolusi model terapi, yaitu aliran psikodinamik, konstruktivisme, dan pendekatan konstruksionis sosial. Akan tetapi pada akhirnya, pendekatam konstruktivisme sosial terhadap narasi lebih diutamakan karena pendekatan ini paling mengeksploitasi ide narasi.[2] Dari perspektif konstruksionisme sosial, cerita merepresentasikan jembatan penting antara pengalaman pribadi dan sistem sosial. Kita lahir dalam dunia yang penuh dengan cerita. Sebuah budaya terbentuk dari mitos, legenda, kisah keluarga, dan cerita lain yang telah ada jauh sebelum kita lahir, dan akan terus eksis lama setelah kita meninggal. Kita membangun identitas pribadi dengan menempatkan diri kita dalam cerita ini, dengan “hidup” di dalam cerita tersebut.[3]

Inspirasi utama konseling atau terapi naratif dengan pendekatan sosial konstruksionisme berasal dari karya Michel White dan David Epson (1990) yang berasal dari Australia dan Serlandia Baru.[4]  Terapi naratif pada beberapa buku merupakan bagian dari Family Therapy, seperti yang terdapat pada buku Counseling karya Samuel T. Gladding halaman 311. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini pun sejalan dengan White dan Epson yang mempunyai latar belakang dan pendidikan terapi keluarga. Walaupun latar belakangnya adalah terapi keluarga, ide mereka dapat dan telah digunakan untuk menghadapi individu, pasangan, dan kelompok. Seiring dengan publikasi buku-buku pegangan mereka Narrative Means to Theraoeutic Ends, pada 1990, pendekatan mereka telah menyebar di kalangan mahasiswa dengan buku yang ditulis oleh Parry dan Doan (1994) dan Monk, etal. (1996).[5]


 Konsep Dasar

Peran Stories

Psikolog Jerome Bruner (1990) berpendapat bahwa terdapat dua cara untuk mengetahui dunia. Ada yang disebutnya pengetahuan paradigmatic (paradigmatic) yang melibatkan penciptaan model abstrak dari realitas. Kemudian ada yang disebutnya pengetahuan narasi (narrative), yang didasarkan kepada pemahaman terhadap dunia memalui bercerita. Bruner berpendapat bahwa kehidupan sehari-hari kita penuh dengan cerita. Kita bercerita kepada diri dan orang lain sepanjang waktu. Kita menstruktur, menyimpan, dan mengkomunikasikan pengalaman kita melalui cerita.[6]

            Akan tetapi McLeod membedakan definisi dari kata narasi dan cerita (story). Menurutnya, cerita bukan hanya sekedar peristiwa kronologis. Sebuah cerita disusun dengan baik memiliki tingkat kualitas dramatis, dan mencakup keraguan, perasaan, dan sesuatu yang berkaitan dengan kepribadian si penutur dan karakter yang ada dalam cerita tersebut. Selalu ada “moral” (pesan) dari cerita di sana. Sebuah cerita juga memiliki elemen evaluative. Sebuah cerita dituturkan untuk “menunjukkan sesuatu”. Sebaliknya, narasi adalah sebuah istilah yang lebih inklusif yang digunakan untuk menggambarkan proses besar pembuatan laporan yang berkenaan apa yang telah terjadi. Sebuah narasi dapat terdiri dari beberapa cerita yang terpisah dan berbeda satu dengan yang lain, dan sangat mungkin mencakup komentar atas cerita-cerita tersebut dan penjelasan. Karena itu semua yang diceritakan oleh klien dalam sesi konseling dapat dipandang sebagai narasi miliknya, yang mungkin terdiri dari tiga atau empat cerita yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lain.[7]

 

Mendengarkan dengan  pikiran terbuka

Semua teori kontruksionis sosial menekankan pada klien untuk mendengarkan tanpa menghakimi atau menyalahkan , menegaskan dan menghargai mereka. Lindsley (1994) menekankan bahwa terapis dapat mendorong klien untuk mempertimbangkan kembali peniaian absolut yang bergerak ke arah melihat keduanya “baik” dan “buruk” unsur-unsur dalam situasi. Terapis Naratif melakukan upaya tanpa memaksakan sistem nilai mereka dan interpretasi. Mereka ingin menciptakan makna dan kemungkinan-kemungkinan baru klien yang berbagi cerita bukan dari prasangka dan pada akhirnya sebuah teori dan nilai penting dipaksakan.Walaupun terapis Naratif membawa kepada usaha terapis tentang  sikap tertentu seperti: optimisme, hormat, keingintahuan, ketekunan, dan menghargai klien untuk mengetahui, mereka dapat mendengarkan masalah-kisah kejenuhan klien tanpa terjebak. Sebagai terapis Naratif, dalam mendengarkan cerita klien, mereka tetap waspada untuk rincian yang memberikan bukti  dari kompetensi klien dalam melawan masalah yang menindas.[8]

 

        Hakikat Manusia

Berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan konseling naratif ini didasarkan atas asumsi sebagai barikut:

1.      Perspektif naratif berfokus pada kemampuan manusia untuk berpikir kreatif dan imajinatif. Terapis tidak pernah menganggap bahwa ia tahu lebih banyak tentang kehidupan klien daripada yang mereka lakukan.

2.      Klien adalah penafsir utama pengalaman mereka sendiri.

3.   Praktisi Naratif melihat orang  sebagai agen aktif yang mampu memperoleh makna keluar dari dunia pengalaman mereka. Dengan demikian, proses perubahan dapat difasilitasi, tetapi tidak diarahkan oleh terapis.[9]

4.  Pengalaman dan makna pribadi tak hanya dibentuk oleh individu , tapi juga oleh sesuatu yang tertanam dalam budaya dan dibentuk oleh budaya. Manusia adalah makhluk sosial, identitas pribadi merupakan produk budaya, sebagaimana halnya dengan posisi seseorang dalam masyarakat dan sumber linguistik yang tersedia.[10]

 

        Pribadi Sehat dan Bermasalah Menurut Teori Naratif

 

·         Pribadi Sehat

1.      Mampu memahami pikiran dan kepercayaan yang bearasak dari kenenagan awal dan interaksi dalam kehidupan.

2.      Individu yang memahami kehidupan mereka yang tampaknya teratur didalam dan diluar.

3.       Individu yang mampu mempromosikan interaksi keluaraga yang sehat dan memberikan pemahaman untuk pembangunan sosial makna dalam kehidupan pribadi.

 

·         Pribadi Bermasalah

1.      Individu yang tidak dapat mengeksplorasi ke dalam diri mereka sendiri.

2.      Individu yang selalu di bayang-bayangi oleh keinginan atau harapan, aspirasi ketakutan dan luka emosional.

3.      Individu yang tinggal sebagai akibat narasi pribadi penderitaan, ketakutan, atau tidak berharga.[11]

 

             Tujuan Konseling

Tujuan umum terapi naratif adalah mengundang orang untuk menggambarkan pengalaman mereka yang baru dan segar. Dalam melakukan ini, mereka membuka pandangan baru dari apa yang mungkin. Bahasa yang baru ini memungkinkan klien untuk mengembangkan makna-makna baru sehubugan dengan masalah pikiran,perasaan dan perilaku (Freedman & Combs,1996).Terapi Naratif hampir selalu mencakup kesadaran akan dampak dari berbagai aspek kebudayaan yang dominan pada kehidupan manusia. Praktisi Naratif berusaha untuk memperluas perspektif dan fokus dan memfasilitasi penemuan atau penciptaan pilihan baru yang unik bagi orang-orang yang mereka lihat.[12] Di samping itu terapi ini juga bertujuan untuk menolong seseorang menyelesaikan transisi kehidupan yang penting serta membantu seseorang mengarang kembali kisahnya dan menerapkan kisah ini dalam komunitas mereka[13]

 

             Sikap, Peran, dan Tugas Terapis / Konselor

Konsep perawatan, hormat, rasa ingin tahu, keterbukaan, empati, kontak dan bahkan terpeson adalah sikap yang harus dimiliki oleh konselor.[14] Dalam proses konseling konselor berperan sebagai orang yang “tidak tahu-menahu” dalam hubungannya dengan klien; klienlah yang merupakan pakar dari ceritanya dan bagaimana mengubah semua itu (Anderson dan Goolishian, 1992; Hoffman, 1992); pada saat terakhir terapi, para terapis kembali diundang sebagai “konsultan”, untuk membagi pengetahuan mereka demi keuntungan masa depan klien.[15] Selanjutnya tugas utama terapis adalah membantu klien mengeksternalisasikan masalah, untuk melihatnya sebagai cerita yang eksis di luar mereka, terapis juga bertugas mendekontruksi kisah dominan, mengurangi cengkeramannya atas seseorang serta membantu klien mengidentifikasi hasil yang unik atau “saat puncak” (sparkling moment), suatu masa di mana mereka telah berhasil melepaskan diri dari genggaman kisah dominan.[16] Terapis Naratif juga cenderung menghindari penggunaan bahasa yang mengaktifkan diagnosis,penilaian dan intervensi. Fungsi-fungsi seperti diagnosis, penialian dan intervensi sering memberikan prioritas kepada dokter itu “kebenaran’ atas pengetahuan klien tentang kehidupan mereka sendiri. Pendekatan Naratif memberikan penenkanan pada pemahaman klkien, pemahaman hidup, dan menekankan kembali upaya untuk meramalkan, menafsirkan,dan patologis. Praktisi Naratif tidak berhati-hati unutuk menyatakan bahwa peran utama mengambil inisiatif dalam kehidupan orang lain atau bahkan merebut (kekuasaan) dari klien dalam membawa perubahan (Winslade, Crocket,&Monk,1997).[17]

 

F.     Peran Klien

Terapis narasi mengasumsikan klien adalah ahli ketika datang kepada apa yang dia inginkan dalam hidup. Dalam hal ini berarti konseli berperan aktif dalam konseling karena klien yang mengetahui dirinya dan kehidupannya.[18]

 

             Hubungan Terapis dengan Klien

Konseling Narasi sangat mementingkan kualitas terapis yang membawa kepada usaha terapi. Beberapa dari termasuk sikap optimisme dan rasa hormat, rasa ingin tahu dan ketekunan, menghargai pengetahuan klien, dan menciptakan jenis khusus dari hubungan ditandai dengan dialog pembagian kekuasaan nyata (Winslade & Monk, 2007). Kolaborasi, kasih  Sayang, refleksi, dan penemuan mencirikan hubungan terapeutik. Jika hubungan ini adalah untuk benar-benar kolaboratif, terapis perlu menyadari bagaimana kekuasaan memanifestasikan dirinya dalam praktek profesionalnya. Ini tidak berarti bahwa terapis tidak memiliki otoritas sebagai seorang profesional. Dia menggunakan otoritas ini, dengan memperlakukan klien sebagai pakar dalam kehidupan mereka sendiri. Winslade, Crocket, dan Monk (1997) menggambarkan kolaborasi ini sebagai coauthoring atau berbagi kekuasaan. Klien berfungsi sebagai penulis ketika mereka memiliki kewenangan untuk berbicara atas nama mereka sendiri. Dalam pendekatan naratif, terapis-sebagai-ahli digantikan oleh klien-sebagai ahli -. Gagasan ini menantang sikap terapis sebagai seorang ahli semua-bijaksana dan maha tahu. Winslade dan Monk (2007) menyatakan: "Integritas dari hubungan konseling demikian dipertahankan sementara klien dihormati sebagai penulis senior dalam pembangunan dari sebuah narasi alternatif "(hal. 57-58). Klien sering terjebak dalam cerita masalah pola hidup-kejenuhan  tidak bekerja. Terapis memasuki dialog ini dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam upaya untuk memperoleh perspektif, sumber daya, dan pengalaman unik dari klien.[19]

 

                     Tahap-Tahap Konseling

Ini gambaran singkat mengenai langkah-langkah dalam proses terapi narasi menggambarkan struktur pendekatan narasi (O'Hanlon, 1994, hlm 25-26):

1.      Berkolaborasi dengan konseli untuk datang dengan nama yang dapat diterima bersama untuk masalah tersebut.

2.      Melambangkan masalah dan menghubungkan pada keinginan yang menekan dan strategi untuk masalah tersebut.

3.      Menyelidiki bagaimana masalah telah mengganggu, mendominasi, atau mengecilkan hati/mengecewakan konseli.

4.      Mintalah konseli untuk melihat ceritanya dari perspektif yang berbeda dengan menawarkan makna alternatif dari peristiwa yang dialaminya.

5.      Temukan saat-saat ketika konseli tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan mencari pengecualian untuk masalah ini.

6.      Menemukan bukti historis untuk mendukung pandangan baru dari konselisebagai orang yang cukup kompeten untuk menantang, mengalahkan, atau keluar dari dominasi atau tekanan masalah. (Pada tahap ini identitas orang tersebut dan kehidupan cerita mulai mendapatkan ditulis ulang.)

7.      Meminta konseli untuk berspekulasi mengenai masa depan bagaimana yang bisa diharapkan dari kekuatan dan kompetensi seseorang. Sehingga konselimenjadi terbebas dari cerita-cerita masalah yang menjenuhkan dari masa lalu, dan ia dapat membayangkan dan merencanakan untuk masa depan yang kurang bermasalah.

8.      Menemukan atau menciptakan audiens untuk memahami dan mendukung cerita baru. Tidaklah cukup untuk membaca cerita baru. Konseli perlu untuk hidup baru cerita luar terapi. Karena orang itu masalah awalnya dikembangkan dalam konteks sosial, adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial dalam mendukung kisah hidup baru yang telah muncul dalam percakapan dengan terapis.[20]

 

             Teknik-Teknik Konseling

Penerapan efektif terapi Naratif lebih begantung pada sikap atau perspektif terapis dari pada teknik. Dalam praktek terapi Naratif, tidak ada resep, tidak ada penetapan agenda, tidak ada formula yang dapat diikuti terapis untuk menetapkan hasil yang positif (Drewery & Winslade, 1997). Jika konseling dilakukan dengan menggunakan pendekatan formula, klien akan merasa bahwa segala sesuatu dilakukan terhadap mereka dan merasa ditinggalkan dalam percakapan (Monk, 1997).  Sebagai suatu pendekatan, konseling Naratif lebih dari penerapan keterampilan; itu didasarkan pada karakteristik pribadi terapis yang menciptakan iklim yang mendorong klien untuk melihat kisah-kisah mereka dari berbagai perspektif. Pendekatan ini juga merupakan ekspresi sikap etis, yang didasarkan kerangka filosofis. Kerangka konseptualnya adalah praktek-pratek yang diterapkan untuk membantu klien dalan menemukan makna-makna baru dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup mereka(Winslade & Monk,1999).[21]

 

Kelebihan dan Kelemahan Teknik Naratif

 

·         Kelebihan

- Memiliki nilai

- Mendapatkan solution yang lebih cepat

- Lebih fleksibel dan dapat dikombinasikan dengan pendekatan terapi lain yang cocok

- Bisa diterapkan di segala jenjang umur dan status sosial

- Cerita dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain, berbentuk sepanjang jalan, dan diberikan kepada orang sebagai warisan dari keluarga mereka

- Bisa berbagi perasaan dengan orang lain.

- Mengembangkan hubungan yang dekat

- Memungkinkan orang untuk mengenali kemampuan partisipatif

 

·         Kelemahan

- Cerita bisa dibuat-buat

- Membutuhakan waktu yang panjang

 





[1] John McLeod, Pengantar Konseling teori dan studi kasus, Jakarta: Kencana, 2015, Hal. 254

[2] Ibid, hal. 255

[3] Ibid, hal. 263

[4] Ibid, hal. 263

[5] Ibid, hal. 263

[6] Ibid, Hal. 254

[7] Ibid, hal. 255

[8] http://paul-arjanto.blogspot.co.id/2011/06/teori-dan-pendekatan-naratif.html

[9] Ibid

[11] http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html

[12] http://paul-arjanto.blogspot.co.id/2011/06/teori-dan-pendekatan-naratif.html

[13] John McLeod, Pengantar Konseling teori dan studi kasus, Jakarta: Kencana, 2015, Hal. 264

[14] http://paul-arjanto.blogspot.co.id/2011/06/teori-dan-pendekatan-naratif.html

[15] John McLeod, Pengantar Konseling teori dan studi kasus, Jakarta: Kencana, 2015, Hal. 264

[16] Ibid, hal. 264

[17] http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html

[18] http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html

[19] http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html

[20] http://akhmad-sugianto.blogspot.co.id/2014/03/teori-pendekatan-narative-therapy.html

[21] Ibid 

About Author Muhammad Fathir Ma'ruf Nurasykim

Writing is one way that you can interact with the world wisely

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Start typing and press Enter to search