Konseling Lintas Budaya (Kognitif dan Emosi)
Persamaan dan Perbedaan Perilaku Antar Pribadi Lintas Budaya (Kognitif dan Emosi)
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kognisi (Kategorisasi, Memori, Problem Solving)
a) Kajian Lintas Budaya tentang Kategorisasi
b) Kajian Lintas Budaya tentang Ingatan
c) Kajian Lintas Budaya tentang Pemecahan Masalah
d) Kecerdasan
e) Bahasa
B. Emosi ( teori somatic dan kognitif)
C. Konsep dan Definisi Emosi
D. Menuju Teori Emosi Lintas Budaya
BAB III KESIMPULAN
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan, semua manusia tidak akan pernah terlepas dari masalah, baik masalah yang terjadi dalam dirinya, keluarga, lingkungan, kantor, dan sebagainya. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, setiap orang mempunyai cara yang berbeda. Ada yang bersikap acuh tak acuh, massa bodoh, dan tak ambil pusing. Ada juga orang yang bersikap tenang, bijaksana atau bahkan emosi tinggi hingga lepas kontrol.
Ketika kita mendengar kata emosi, yang terlintas di pikiran adalah marah, negative, arogan, dll. Emosi itu adalah gejala normal yang dialami seseorang ketika mendapatkan tekanan. [1]Menurut J.P. Du Preez, emosi adalah reaksi tubuh saat menghadapi situasi tertentu.
Kognitif atau pikiran adalah gejala jiwa yang didalamnya terdapat kegiatan berpikir. Berpikir adalah fungsi kognitif tingkat tinggi sedangkan analisis proses berpikir menjadi salah satu bagian penting dari psikologi kognitif. Berpikir merupakan aktivitas paling kuat yang dapat dilakukan dalam kehidupan kita.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah ada persamaan dan perbedaan antar individu dalam aspek emosi dan kognitifnya. Pada dasarnya emosi dapat dipengaruhi oleh kognitif dan begitu juga sebaliknya. Dan mungkinkah setiap orang dengan latar belakang budaya yang sama juga memiliki perbedaan, dan dapat dijadikan suatu keumuman dalam aspek kognitif dan emosi, karena para psikolog mengatakan anak kembar sekalipun juga memiliki budaya yang berbeda dan kembali lagi yang menjadi sasaran adalah mengenai aspek kognitf dan juga emosi.
BAB II
A. Kognisi
[2]Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan. Memang banyak perkiraan bahwa manusia punya proses-proses mental dasar yang mirip, bagaimana kita melihat orang-orang dari budaya yang berbeda mengorganisir, menyampaikan, dan merespon informasi secara berbeda-beda. Bukan hanya itu, mereka juga berbeda dalam hal sejauh mana mereka berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan praktis tertentu dan dalam tingkat tertentu pendidikan formal gaya Eropa, Afrika, Asia, dll.
Ketika mendengar kata “Kognisi”, maka sangat erat hubungannya dengan berpikir, kecerdasan dan juga bahasa. Jika kita mengaitkan hubungannya dengan peran biologis atau nativisme maka perbedaan tersebut akan mudah kita dapatkan. Akan tetapi, pemakalah berpendapat disini kita berbicara mengenai budaya, bagaimana orang-orang yang hidup dan menyatu sebagai suatu komponen dalam masyarakat dan juga mendapatkan suatu proses pembudayaan dan proses sosial . bagaimana hubungan antara proses berpikir partisipan dengan budaya yang berbeda, demikian halnya hubungan antara bahasa dengan kognisi, dan juga persamaan dan perbedaan antar pribadi.
Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
1) Kategorisasi
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministik utama dari proses kategorisasi. Misal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya dapat dianggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda.
2) Memori
Memori atau disebut juga ingatan ialah suatu daya yang dapat menerima, menyimpan, dan memproduksi kembali informasi yang telah lampau. Definisi dari Schlessinger dan Groves (1976) adalah suatu sistem yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya. Pada umumnya para ahli memandang ingatan sebagai hubungan antara pengalaman dengan masa lampau. Apa yang telah diingat adalah hal yang pernah dialami, pernah dipersepsinya, dan hal tersebut pernah dimasukkan kedalam jiwanya dan disimpan kemudian pada suatu waktu kejadian itu ditimbulkan kembali dalam kesadaran. Ingatan merupakan kemampuan untuk menerima dan memasukkan (learning), menyimpan (retention) dan menimbulkan kembali apa yang pernah dialami (remembering).
3) Problem Solving
[3]Adalah usaha untuk menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan ketika tidak dapat diraih dengan langsung.
a) Kajian Lintas Budaya tentang Kategorisasi
[4]Meski banyak hal dikelompokkan secara berbeda dari satu budaya ke budaya yang lain, sebagai contoh, ekspresi wajah yang menandakan emosi-emosi dasar – senang, sedih, marah, takut, terkejut, dan jijik—ditempatkan pada kategori-kategori yang sama di berbagai budaya. Orang dari budaya yang sama juga cenderung mengelompokkan dan menilai beberapa stimulus dasar, seperti dalam hal warna, bentuk dan ekspresi wajah sama. Namun ketika ada perbedaan pengalaman kultural, orang dari budaya yang berbeda membuat penilaian yang berbeda tentang berbagai hal. Kategorisasi sama dengan konsep, setiap kita berbeda-beda mengenai konsep, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya persamaan. Persamaan atau hal-hal universal ini biasanya terkait dengan benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara umum di semua budaya, seperti warna atau ekspresi wajah.
b) Kajian Lintas Budaya tentang Ingatan
[5]Ross dan Millson (1970) menduga bahwa orang yang mengandalkan pada tradisi oral akan lebih baik ingatannya. Mereka kemudian membandingkan ingatan mahasiswa Amerika dengan mahasiswa Ghania dalam mengingat cerita yang dibacakan keras-keras. Secara umum mereka menemukan bahwa mahasiswa Ghania lebih baik daripada mahasiswa Amerika dalam mengingat. Dengan begitu, tampaknya budaya-budaya yang memiliki tradisi oral memang lebih unggul dalam ingatan.
[6]Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang tidak saling berhubungan tampaknya tidak begitu dipengaruhi oleh budaya melainkan lebih terkait dengan apakah orang tersebut pernah mengenyam sekolah atau tidak. Sebuah penelityian yang dilakukan Scribner (1974) dengan orang Afrika berpendidikan dan yang tidak berpendidikan mendukung gagasan ini. Orang Afrika yang berpendidikan dapat mengingat kembali daftar kata-kata sebaik subjek Amerika, sedangkan yang tidak mengingat lebih sedikit kata. Dengan demikian, penelitian lintas budaya tentang ingatan menunjukkan bahwa orang-orang dengan tradisi budaya oral punya ingatan yang lebih baik daripada orang dari budaya dengan tradisi tulis. Namun hal ini tampaknya terbatas pada materi ingatan yang bermakna seperti kisah atau cerita dan tidak berlaku pada suatu daftar benda.
Pemakalah berpendapat bahwa suatu budaya yang diterima individu mempengaruhi ingatan. Terlepas apakah seseorang tersebut mendapatkan budaya yang sama atau berbeda. Lebih jelasnya bahwa ada persamaan dan perbedaan antar individu dikarenakan secara defenisi yang luas , bahwa budaya itu mencakup nilai, sikap, keyakinan dan perilaku. Otomatis ada nilai-nilai yang dianut oleh individu atau sikap secara dia sebagai pribadinya maupun dalam proses pembudayaan yaitu dia berada di dalam social.
c) Kajian Lintas Budaya tentang Pemecahan Masalah
[7]Perbedaan budaya dalam pemecahan masalah sulit diukur dalam setting natural karena akan sulit memisahkan antara apakah sesorang itu sedang melakukan deduksi logis dan apakah perilaku mereka mencerminkan latar belakang kulturalnya.
Pemakalah mencontohkan seorang yang mendapatkan suatu nilai budaya secara sosial-global. Ketika seseorang yang sudah terbiasa dengan kemandirian dan kesederhanaan oleh karena itu merupakan pembudayaan yang ia dapatkan dari orangtuanya dan lingkungannya, kemudian ia pergi merantau, survive dalam mencari penghidupan maka kita melihat bagaimana perbedaan dengan orang yang sudah terbiasa hidup dengan kemanjaan dan kemewahan dari proses pembudayaan yang ia dapat, maka kita tahu bahwa orang yang mandiri akan mudah mengembangkan strategi-strategi pemecahan masalah yang baik.
d) Kecerdasan
[8]Ketika digunakan untuk menjelaskan orang, kecerdasan mengacu pada perbedaan individual dalam keterampilan-keterampilan pemecahan masalah dan dalam kemampuan-kemampuan penting lainnya.
Budaya yang berbeda juga mendefinisikan kecerdasan dengan cara yang berbeda. Kebanyakan orang Euro-Amerika, contohnya, melihat kecerdasan dalam konteks penalaran dan keterampilan berpikir, sedangkan masyarakat di Kenya menganggap perilaku cerdas terkait dengan keikutsertaan yang bertanggung jawab dalam kehidupan keluarga dan social. Seseorang yang dikatakan cerdas di Uganda adalah sesorang yang mengetahui apa yang harus dilakukan dan menunjukkan perilaku yang tepat dalam situasi tertentu. Kecerdasan pada masyarkat Iatmul di Papua Nugini melibatkan kemampuan untuk mengingat nama-nama 10.000 hingga 20.000 suku yang ada. Penduduk Caroline yang tersebar secara luas menggunakan bakat untuk menentukan arah berdasarkan letak bintang sebagai cara mendefinisikan kecerdasan.
e) Bahasa
[9]Bentuk komunikasi baik itu lisan, tertulis maupun menggunakan isyarat yang didasarkan pada sebuah system symbol. Kita memerlukan bahas untuk berbicara dengan orang lain, mendengarkan orrang lain, membaca dan menulis.
Bahasa tidak dipelajari terlepas dari keadaan social. Terdapat keterkaitan antar budaya, kecerdasan dan juga bahasa. Dalam budaya yang sama misal, kelompok-kelompok yang berbeda dapat memiliki sikap, nilai dan motivasi yang berbeda, dan perbedaan ini dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam tes-tes kecerdasan. Pertanyaan tentang fisika atau pelajaran yang berhubungan dengan eksakta, tentang rel kereta, musim dalam tahun, jarak antar kota, tungku perapian, pemuaian besi, hukum logaritma, dan sebagainya dapat menimbulkan biuas terhadap beberapan kelompok yang kurang memiliki pengalaman terhadap itu. Pemakalah mencoba menyajikan bagaimana bias budaya mempengaruhi kecerdasan seorang . seorang siswa yang bernama Ma’ruf mengikuti sebuah tes kecerdasan. Ketika melihat pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kertas tes tersebut, Ma’ruf hanya memahami sedikit kata yang tercetak karena kata terbsebut dalam bahasa German dan ia tidak dapat berbicara bahasa German melainkan bahasa Inggris. Seminggu kemudian ia ditempatkan sebagai siswa yang keterbelakangan mental, seperti itulah keterkaitan ketiganya.
B. Emosi
[10]Berdasarkan asal usul katanya, emosi berasal dari bahasa Prancis emotion, dari emouvoir, excite, yang berarti kebahagiaan. Berdasarkan kata latin emovere, yang terdiri dari kata-kata e- (variant atau ex-) dengan arti keluar dan movere, yaitu bergerak.
[11]Ada dua hal yang biasanya terlintas bila berbicara tentang emosi. Yang pertama adalah pengalaman emosi, yakni kondisi subjektif, perasaan dalam diri kita. Yang kedua adalah ekspresi kita atau emosi melalui suara, wajah, bahasa atau gerak tubuh (gesture).
[12]Emosi adalah perasaan, atau afeksi yang dapat melibatkan rangsangan fisiologis (seperti denyut jantung yang cepat), pengalaman disadari (seperti memikirkan keadaan jatuh cinta dengan seseorang), dan ekspresi perilaku (sebuah senyuman atau raut muka cemberut).
[13]Menurut Eastwood Atwater, penulis buku Psychology of Adjustment, ia mengartikan emosi sebagai suatu kondisi kesadaran yang kompleks dan mencakup sensasi di dalam diri dan ekspresi ke luar yang memiiki kekuatan memotivasi untuk bertindak.
a) Teori tentang Emosi
· Teori somatik
Teori James Lange berpendapat bahwa perubahan situasi menyebabkan terjadinya perubahan pada kondisi tubuh. Perubahan kondisi tubuh inilah yang menyebabkan munculnya emosi pada manusia. Misalnya, saat kita lihat ada beruang di hutan, jantung kita akan mulai berdetak dengan lebih cepat. Tubuh kita kemusian memproduksi adrenalin, tubuh gemetar, sehingga menyebabkan munculnya rasa takut pada diri kita. Menurut teori ini, “saya takut karena saya gemetar”.
Walter Cannon dan Philip Bard memberikan bukti emperis yang bertentangan dengan teoei James Lange mengenai aspek fisiologis dari emosi. Cannon dan Bard muncul dengan penjelasan yang berbeda mengenai hubungan antara emosi dan prilaku, dimana situai tertentu mendorong munculnya sebuah emosi yang kemudian mengaktivasi prilaku tertentu pada manusia. Dengan contoh yang sama, saat kita melihat ada beruang di hutan maka emosi takut akan mucul. Hal ini menyebabkan kita lari secepat mungkin menghindari beruang tersebut. Jadi menurut teori ini, “saya takut, gemetar dan lari”.
· Teori kognitif
Penelitian psikologi sosial menginterpretasikan emosi sebagai kombinasi dari dua elemen, yaitu rangsangan fisiologis dan interpretasi kognitif. Schachter dan Singer (1962). Schachter dan Singer melakukan penelitian eksperimen yang memperlihatkan bahwa berbagai rangsangan yang di alami partisipant dapat memunculkan senyawa kimia tertentu (adrenalin) dan menempatkan partisipant tersebut pada situasi fisik yang berbeda dari yang sebelumnya. Namun situasi fisik yang baru itu dalam artian umum, jadi tidak cukup untuk menimbulkan emosi. Emosi baru timbul terkait dengan interpretasi yang terjadi sebagai akibat dari proses kognitif pada orang yang bersangkutan. Pengalaman yang positif (misalnya para pelatih beruang) tidak akan menimbulkan emosi takut, ketika muncul seekor beruang. Sebaliknya orang yang pernah tahu, atau pernah mengalami sendiri bahayanya beruang, maka orang itu akan merasa takut. Jadi menurut teori ini “saya takut karena saya tau (kognitif) bahwa beruang itu berbahaya”. Itulah yang menyebabkan anak kecil tidak takut pada hewan-hewan seperti cacing atau kucing, karena ia belum pernah tahu bahayanya binatang-binatang itu. Ia baru tahu setelah orang dewasa ketakutan kepada hewan-hewan itu.
C. [14]Konsep dan Definisi Emosi
Dalam mendiskusikan emosi manusia, psikologi Amerika kerap mengandalkan bahwa yang dibicarakan adalah sesuatu yang sama untuk seluruh manusia. Memang, banyak studi yang menyatakan bahwa hampir setiap kebudayaan memiliki suatu konsep tentang emosi.
Tidak semua budaya yang ada di dunia memiliki konsep emosi. Levy misalnya, mengatakan bahwa orang Tahiti tidak punya kata untuk emosi. Lutz juga menyatakan bahwa orang Ifaluk dari kepulauan Mikronesia tidak memiliki kata untuk emosi. Barangkali kata, dan konsep emosi adalah sesuatu yang khusus untuk budaya-budaya tertentu saja.
Bahkan untuk budaya-budaya yang memiliki kata untuk emosi, kata tersebut bisa saja tidak memiliki makna yang sama dengan kata “emotion” dalam bahasa Inggris. Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara.[15]
a) Kategori atau Pelabelan Emosi
Orang dari budaya yang berbeda juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Beberapa kosakata bahasa Inggris, seperti anger, joy, sadness, liking, dan loving memiliki padanan dalam berbagai bahasa dan budaya. Ada pula kata-kata emosi dalam bahasa lain yang tidak punya padanan persisnya dalam bahasa inggris, tapi ada banyak kosakata dalam bahasa Inggris yang tidak punya padanan dalam bahasa lain.
Dalam bahasa Jerman misalnya: ada kata schadenfreude yang berati rasa senang yang timbul karena kesialan orang lain. Dalam bahasa Jepang ada kata-kata itoshii, ijirashii, dan amae dapat diterjemahkan sebagai rasa rindu akan orang tercinta yang tak ada, perasaan ketika melihat orang terpuji mengatasi suatu rintangan, dan perasaan ketergantungan. Demikian pula Lutz menyatakan bahwa kata song dalam bahasa Ifaluk terkadang bisa digambarkan sebagai anger atau sadness.[16]
Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa masing-masing budaya memilah-milah dunia emosi dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain konsep emosi merupakan khas budaya ( culture bound ), demikian pula dengan cara tiap kebudayaan memberi kerangka dan melabeli dunia emosi.
b) Lokasi Emosi
Salah satu komponen terpenting emosi dalam psikologi Amerika adalah pengalaman subjektif tentang emosi, pengalaman batin emosi di dalam diri. Namun penekanan pada pentingnya perasaan batin dan introspeksi (melihat ke dalam diri) . Ini mungkin saja tak bebas-budaya, alias khas psikolog Amerika. Kebudayaan-kebudayaan lain bisa dan memang punya pandangan lain tentang temoat dan asal usul emosi. Contohnya, Reisman menulis bahwa konsep Afrika Fulani semtendee, yang sering diterjemahkan sebagai shame atau embarrassment, lebih menunjuk pada situasi ketimbang pada sebuah perasaan. Artinya. Seseorang akan berada dalam kondisi semtendee bila situasinya tepat untuk semtendee, tak peduli apa perasaan orang tersebut.[17]
Pemahaman kita tentang lokasi emosi pun tampaknya terikat oleh budaya. Perbedaan kultural dalam konsep, definisi, pelabelan, dan lokasi emosi semuanya membuat makna emosi menjadi berbeda bagi orang dari budaya yang berbeda serta dalam perilaku mereka.
c) Perbedaan Makna Emosi bagi Orang dan dalam Perilaku Lintas Budaya
Menurut psikolog Amerika, emosi mengandung makna yang sangat kental, barangkali psikologi Amerika memandang perasaan batin yang subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Namun demikian dalam budaya lain emosi memiliki peran yang berbeda. Misalnya banyak budaya yang menganggap emosi sebagai pernyataan-pernyataan tentang hubungan antar orang dan lingkungannya, yang mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial dengan orang lain. Bagi orang Ifaluk di Mikroneia maupun orang Tahiti, emosi adalah pernyataan tentang hubungan-hubungan sosial dan lingkungan fisik. Konsep Jepang amae , menunjuk pada hubungan saling ketergantungan antara dua orang.
d) Penelitian Psikologi Lintas Budaya Tentang Emosi
Ada beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi dengan penelitian antropologis dan etnografis. Satu perbedaan pentingnya adalah bahwa psikolog biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa yang tercakup sebagai emosi dan aspek mana dari definisi tersebut yang akan dikaji.
Perbedaan kultural dalam konsep dan definisi emosi, menjadi hambatan bagi model penelitian ini. Penelitian psikologis tentang emosi tetap mewakili suatu model penelitian yang penting tentang perbedaan kultural dan emosi. Meski begitu mereka menegaskan bagaimana budaya bisa membentuk emosi dan demikian meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengaruh-pengaruh sosio-kultural. Studi ini juga penting karena mereka menunjukkan bahwa perbedaan kultural emosi tetap ada, bahkan ketika aspek emosi yang diteliti didefinisikan oleh pandangan barat mainstream dalam emosi.
e) Ekspresi Emosi
Penelitian lintas budaya tentang ekspresi emosi pada umumnya terfokus pada ekspresi wajah. Ekspesi wajah dari emosi dari emosi adalah aspek ekspresi emosi yang paling banyak dipelajari, dan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong utama studi emosi di Psikologi Amerika. Ekman dan Izard mendapatkan bukti pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi marah (anger), jijik (disgust), takut (fear), senang (happiness), sedih (sadness), dan terkejut (suprise). Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi tersebut secara biologis bersifat bawaan atau innate, serupa untuk semua orang dari segala budaya atau etnisitas. Dengan demikian siapapun, dari budaya manapun yang mengalami salah satu emosi ini seharusnya mengekspresikannya dengan cara yang sama.
Namun temuan ini tidak cocok dengan apa yang secara intuitif kita rasakan tentang adanya perbedaan kultural dalam ekspresi emosi. Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi universal tersebut diekspresikan, emosi tersebut tergantung pada situasi sosial. Ini biasa kita sebut sebagai aturan pengungkapan kultural (cultural display role).
Sebenarnya adanya aturan kultural yang mengatur pengungkapan emosi ini sudah dua dekade ditunjukkan oleh sebuah studi komparatif antara perilaku raut muka (facial) orang Amerika dan Jepang. Dalam studi ini anggota kedua kebudayaan tersebut menonton beberapa film yang amat stressful (luka bakar, amputasi, operasi sinus, proses melahirkan dengan forsep) dalam dua kondisi sosial yang berbeda. Dalam kondisi pertama, para partisipan menonton film tersebut sendirian; dalam kondisi yang kedua, partisipan menonton film itu bersama seorang eksperimenter yang berstatus lebih tinggi. Selama eksperimen ekspresi wajah mereka diam-diam direkam. Dalam kondisi pertama, baik orang Jepang muapun Amerika menunjukkan ekspresi jijik, marah, takut dan sedih pada saat yang sama. Namun kehadiran si eksperimenter yang berstatus tinggi dalam kondisi yang kedua, muncul beberapa kultural yang mencolok. Orang Amerika tetap menunjukkan emosi negatif mereka, sedangkan orang jepang terus menyuggingkan senyum selama proses tersebut.
Temuan-temuan ini menunjukkan bagaimana ekspresi emosi yang secara biologis bersifat bawaan berpadu dengan aturan-aturan pegungkapan yang bersifat kultural dalam menghasilkan ekspresi-ekspresi emosi dalaminteraksi. Dalam kondisi yang pertama tidak ada aturan pegungkapan yang berlaku, sehingga orang Amerika dan Jepang menunjukkan ekspresi yang sama. Dalam kondisi kedua aturan pengungkapan menjdi berlaku dan memaksa orang Jepang untuk tersenyum, meski adanya perasaan-perasaan negatif, demi tidak menyinggung si eksperimenter.[18]
Sampai saat ini, belum ada kajian yang secara formal menguji perbedaan-perbedaankultural dalam reaksi-reaksi fisiologis emosi.meski demikian, ada beberapa penelitian yang telah menguji perbedan-perbedaan kultural dalam reaksi-reaksi fisiologis dan perilaku yang dilaporkan oleh orang-orang dari beberapa budaya yangberbeda (Matsumoto dkk., 1988; scherer dkk,., 1988). Meski tidak bisa meggantikan fisiologis dan perilaku itu sendiri, data-data tersebut memunculkan beberapa spekulasi menrik tentang kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan kultural.
Secara umum, responden Jepang melaporkan bahwa mereka lebih sedikit memberi reaksi terhadap emosi dalam bentuk gestur (gerak tubuh) lengan dan tangan, gerak tubuh keseluruhan, dan reaksi vokal dan wajah dibanding orang Amerika atau Eropa. Orang Amerika melaporkan bahwa mereka memiliki ekspresifitas paling tinggi, baik dalam reaksi wajah maupu vokal. Orang Amerika dan Eropa juga melaporkan bahwa mereka lebih banyak mengalami sensasi-sensasi yang murbi fisiologis dibanding orang Jepang. diantara sesansi-sesansi ini adalah perubahan terperatur tubuh (wajah menjadi merah, panas, dan seterusnya)., perubahan-perubahan kardiovaskular 9jangtung berdebar, perubahan denyut nadi), dan gangguan gastric (masalah perut).
D. Menuju Teori Emosi Lintas-Budaya
[19]Banyak cara yang dilakukan oleh seseorang mengekspresikan emosi yang dialaminya. Ketika emosi amarah melanda, terkadang seseorang hanya diam saja. Diam pun dianggap sedbagai salah satu tindakan yang mencerminkan keadaan emosional. Namun, tidak jarang kita melihat tindakan emosi seseorang yang sedang marah dengan membentak, memaki, bahkan memukul. Sementara itu, saat seseorang sedang dirundung kesedihan, ia hanya sanggup mengapresiasikannya dengan menangis.
Salah satu hal penting bagi teori emosi lintas-budaya adalah petunjuk bahwa ekspresi-ekspresi emosional bervariasi lebih menurut fungsi atau lebih berdasarkan dimensi individualisme versus kolektifisme, ketimbang berdasarkan apakah seseorang itu bekulit hitam, bangsa Jepang , atau bangsa Mesir (matsumoto, 1991)
BAB III
KESIMPULAN
Manusia dengan berbagai defenisinya yang berbeda memang memiliki perbedaan maupun persamaan. Banyak kita dapatkan istilah-istiloah tentang manusia, antara lain animal rasional, makhluk social, homo symbolicum, dll. Namun, manusia sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai daya untuk berpikir terkadang dipengaruhi oleh proses pembudayaan, walaupun tidak terlepas dari proses mendapatkan pendidikan.
Jika kita memandang bahwa suatu budaya yang dimiliki oleh seseorang sebagai suatu ras, suku, adat maupun agama yang melekat pada dirinya dan bersinergi dalam kehidupannya kita tentu akan mendapat persamaan-persamaan yang mencolok apabila partisipannya sama. Tetapi, bukan berarti tidak ada perbedaan, dalam hal ini yang telah dibahas mengenai kognitif dan emosi. Bahkan, dua anak kembar yang dilahirkan oleh satu ibu dan mendapatkan suatu proses pembudayaan yang dikombinasi dengan suatu nilai kehidupan yang lain juga terdapat perbedaan, dan pastinya itu akan terjadi bagi anak yang tidak kembar.
Banyak proses pembudayaan dan nilai yang mempengaruhi bagaimana perilaku individu yaitu kognitif dan emosi dipengaruhi oleh budaya. karena mereka memiliki budaya yang melekat dan menetap dalam diri mereka sebagai individu dan juga terdapat budaya yang mereka konstrusikan dalam social lebih tepatnya social-global.
Terlebih jika suatu budaya tersebut dideskedirkan sebagai sebuah sistem maupun komponen yang terdapat dalam sebuah nation, maka, dipastikan perbedaan-perbedaan akan semakin nyata, walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat persamaan pada aspek kognitif dan emosi.
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
King, A, L. (2014), Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif, Jakarta, Salemba Humanika.
Sarwono, W, S. Psikologi Lintas Budaya.
Aditya Z, C. (2013). Terapi Beragam Masalah Emosi Harian, Jogjakarta, Sabil.
[1] Aditya Z, C. (2013). Terapi Beragam Masalah Emosi Harian, Jogjakarta, Sabil. hlm 36-37
[2] Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hlm 79
[3] King, A, L. (2014), Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif, Jakarta, Salemba Humanika. hlm 55
[4] Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hlm 82-85
[5] Ibid, hlm 87
[6] Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hlm 88-89
[7] Ibid, hlm 91
[8] King, A, L. (2014), Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif, Jakarta, Salemba Humanika. hlm 26
[9] Ibid, hlm 39
[10] Sarwono, W, S. Psikologi Lintas Budaya. hlm 83
[11] Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hlm 178
[12] King, A, L. (2014), Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif, Jakarta, Salemba Humanika hlm 98
[13] Aditya Z, C. (2013). Terapi Beragam Masalah Emosi Harian, Jogjakarta, Sabil. hlm 15
[14] Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hlm 180
[15] Ibid, hlm 181
[16] Ibid, hlm 182
[17] Ibid, hlm 183
[18]Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hlm 188
[19] Aditya Z, C. (2013). Terapi Beragam Masalah Emosi Harian, Jogjakarta, Sabil. hlm 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar