[Latest News][6]

Article
Cerpen
Fiksi
Kebangsaan
Konseling
Politik
Psikologi
Psikoterapi Islam
Relationship

Cerita Inspiratif Tak Ada Lagi Cinta


Oleh M. Fathir Ma’ruf Nurasykim   
Bel sekolah telah berbunyi, Liana tersenyum seakan mengaminkan waktunya pulang ke rumah. Masa bodoh, ia melemparkan tasnya ke arah sofa di ruangan tamu. Sofa dengan corak bulu harimau sumatera dan di atas meja ada sisa roti dan teh yang masih hangat. Televisi menyala namun seakan tak berfungsi, tak ada yang menontonnya. Hidupnya yang serba kecukupan, segala permintaan selalu terpenuhi, membuat Liana merasa setara dengan anak-anak yang lain. Tidak ada ritual khusus dalam keluarganya, semuanya normal.
Siang hari itu cuaca memang sangat panas membara, Liana masuk ke kamar dan menyalakan pendingin ruangan. Ia asik membaca sambil berbaring di atas kasur nan empuk, lembut. Tanpa terasa, matanya mulai menunjukkan tanda menyerah, Liana terus melawan rasa kantuk yang hebat. Mungkin jadwal belajar sekolah yang padat membuatnya kelelahan, dan ketika kedua matanya ingin mengaminkan rasa kantuk yang luar biasa, terdengar suara piring jatuh, Braaak…pecah.
Ia tersentak dan rasa kantuknya hilang dengan sekejap, tanpa perlu berjuang menaklukannya. Hingga ia bergegas menuju dapur, dilihatnya pecahan piring berserakan, tidak tahu pasti ke mana menyebar serakan kacanya. Namun, ia berusaha mencari dan mengutip serpihan-serpihan kecil itu. Dalam hatinya, ‘ini dapat membahayakan siapa saja yang akan ke dapur. Terbesit ragu dan curiga di hati, suara pecahan piring itu terus menganggu pikirannya karena berhasil menggagalkan tidurnya. Tetapi, tidak ada satu orang pun terlihat panik untuk segera mendatangi pecahan-pecahan itu. Ia segera mencari ibunya di ruang tamu, lantai atas dan juga di dalam kamar. Ibu tidak ada di tempat-tempat itu, tidak ada satu orang pun yang. Ia bergegas ke dapur  ingin memastikan bahwa teori kucing yang telah menjatuhkan piring di dapur benar.
Sampai sore tiba dan jarum jam menunjukkan pukul 15.30, matanya masih bergelut dengan situasi yang sedang terjadi di rumahnya. Sibuk mondar-mandir dalam ruangan, tak mengerti apa yang dicari, penat pun singgah di tubuhnya, spontan mencari kursi sofa tamu di samping jendela panjang berkaca gelap. Walaupun penat cukup hebat dirasa, ia tetap melihat ke arah luar jendela, jalan yang sunyi setapak sesekali terdengar suara motor yang jalan. Bunyi kringan bel sepeda dikendarai oleh ibu-ibu petani yang berjajar dari ladang hendak pulang ke rumah, topi ladang yang dipakai dan baju sederhana, ia melihat wajah-wajah lelah yang luar biasa. Liana bergumam dalam hati ternyata nasib baik ia dan keluarganya dapat hidup senang dan cukup. Akhirnya pun ia menyerah dengan ketiduran di atas sofa kesukaan hadiah dari ayahnya 2 bulan yang lalu. Begitu juga dengan sepeda punya adiknya yang terletak di sudut ruangan kosong tempat gudang pakaian. Sesekali ia meminjam sepeda itu, walau pertengkaran tak jarang terjadi sifat manja mereka. Padahal semua fasilitas yang ada sudah lebih dari cukup untuk mereka. “Apa lagi yang lebih buruk selain melewati liburan di rumah berdua saja dengan Ando? katanya. Dan, sering kali, Liana yang menjadi korbannya.
Waktu terus berjalan, maghrib pun tiba, alarm jam dinding berbunyi menandakan jam enam tepat, seketika matanya terbuka, linglung seolah kehilangan sesuatu, ia pandangi seseorang yang sedang duduk disampingnya, ibunya memandanginya sambil memberikan elusan hangat di kepalanya, tersenyum menggambarkan sedang terjadi kehangatan dua hati yang saling terikat batin. “ Hai bidadariku, bidadari ibu kecapekan ya, banyak kegiatan disekolah tadi siang”, tanya ibunya. “Ya bu, padat sih kegiatannya, gak ada istirahat, apalagi jurnal mading sekolah udah naik, tetapi belum di edit akibat editor sibuk”, jawab Liana sambil cemberut centil.
Ibunya menawarkan menu makan malam kesukaannya, tampak kasih sayang dan dukungan yang luar biasa untuk Liana dari seorang ibu yang hebat. Suasana hangat di malam yang dingin karena hujan rintik, sekadar memberi minum pada tanaman hias di pekarangan, tak payah untuk menyiramnya esok. Sebuah keluarga berkumpul, menimbulkan semangat positif yang seakan masuk tembus menghujam diri mereka. Sesekali, ibu melempar tatapan sejuknya, lengkaplah sudah ditambah dengan dinginnya malam, betapa senangnya ia. Ia lihat adiknya saling merebut masakan ala ibu yang tak ada tandingannya. Kata-kata yang selalu keluar dari mulut Liana jika ingin merayu ibunya untuk memasak makanan yang seleranya. Bagaimanapun hangatnya suasana malam itu, tetap Liana tidak merasakan kehadiran seorang ayah. Ayah yang pada malam itu terhitung satu minggu sudah, tidak melihat aktivitas anaknya, tidak bersama-sama dalam suasana. Sedih, tapi Liana dapat merasakan betapa lebih sedih ibunya, ayah yang menjadi teman ibu, yang selalu berada di sampingnya, menjaganya, sebelum ia ada, belum kunjung pulang, sesekali Liana melihat wajah ibunya, tampak jelas rona kelelalahan, sesekali air mata ibunya keluar jatuh ke lantai, saat itu pula wajah Liana menatap kearah air yang suci, “surgaku yang ada di rumah”, dalam hatinya,. Ia dapat merasakan betapa rindu dan sedihnya ibu, tapi kekhawatiran itu sirna, saat ia sadar bahwa ia masih memilki ibu yang kuat dan tangguh. Malaikat nyata yang siap membela anaknya, walaupun ia harus terluka. Kekuatan do’a yang selalu diajarkan ibunya selepas menghadap Ilahi selalu ia ulang, walau terasa sulit bagi Liana untuk menghapalnya. Tapi ia terus berusaha dan pantang menyerah, ia tak ingin sedikitpun melihat ibunya kecewa.
Ibu yang menjadi sandaran dalam mengarungi hidupnya. Setiap hari selalu terbayang akan cita-cita yang ingin di capai. Ia kembali ke kamar, mencari sesuatu yang ia naggap penting untuk saat ini di rak buku pemberian ayahnya. Entah apa yang ia cari, hanya Liana yang tahu. Mengadu dengan buku dan pena, terjatuh air matanya membasahi lembaran-lembaran kertas. Ia berusaha tegar, melawan bayangan-bayangan semu dalam benaknya. Ia percaya Tuhan masih sayang kepadanya. Namun usaha itu sia-sia, jauh di dalam bayangan dan angan ia harapkan sosok seseorang, hadir di tengah-tengah mereka, pelukan dan kecupan manja yang ia rindukan itu, kini jarang ia terima seperti dulu. Kehangatan itu sirna, dan baru ia sadari ternyata semua itu bisa lenyap dan tak ada yang abadi. Ia bertanya pada ibunya, “kapan ayah akan pulang bu?”. Ibunya hanya bisa menjawab, “Pekerjaan ayah banyak nak, ia sibuk, ia pun sebenarnya ingin segera pulang, tapi pekerjaannya menuntutnya. Ayah juga bekerja untuk memenuhi keperluan kamu, adikmu dan keperluan kita semua”. Teraut di wajah Liana kecewa, namun ia tetap berusaha menerima keadaan itu. Ibunya sudah menjelaskan semua apa adanya, mereka semua sabar menunggu kedatangan sang bapak untuk pulang ke rumah. Adiknya pun mendekati sang ibu dan  mendekapnya. Ibunya berkata, “kalian harus belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa”.  Perkataan itu seperti sebuah suntikan bagi Liana untuk tidak lagi bermain-main, tidak lagi malas-malasan dalam belajar.
Dia terpana dan melamun ketika melihat tulisan-tulisan puisinya dahulu. Betapa lucu tulisan tentang cinta, cintanya kepada ayah dan ibunya. Walaupun untaian kata itu tak tersusun rapi seperti seorang penyair. Cukup lah memuaskan batin seorang anak remaja seperti Liana. Tatapan matanya seakan bercerita, cercah-cercah cahaya yang menjadi lentera saat gulita melanda. Rasa yang tak pernah puas. Demikian lah Liana, terkadang senyum dan sedihnya turut silih berganti menghiasi ratapan dinding rumah yang tak bersuara dihempas derasnya hujan dan angina. Mencoba berganti peran dengan sang adik namun tak biasa lagi. Karena orang yang mengganti perannya sedang tidak ada di rumah. Seperti pelakon dalam drama. Tak ada habis-habisnya pertanyaan itu, hingga ia pun menyimpan nestapa cintanya sendiri. Cinta yang seharusnya di beri dan di terima. Cinta yang seharusnya saling berbagi dan mengayomi tumbuh subur disirami benih-benih canda dan tawa. Kini sirna tak ada apa-apa. Bakti anak yang tak terbalaskan bukan karena arogan namun terpisahkan oleh ruang dan waktu yang dengan ganasnya memisahkan kasih-sayang seorang anak kepada idolanya. Tempat mengadu itu sedang tidak ada di rumah dan akan lama kembali. Putus pengharapannya, hanya lembaran-lembaran sisa kertas menjadi tempat mengadu batin yang terluka dan perih dirtinggalkan.
Gemericik desah di tebas putus oleh kejamnya suasana, yang seharusnya bersahaja, ia tak sanggup lagi menggoreskan tinta-tinta pena, tangannya bergetar hebat. Air mata jatuh berlinang membasahi secarik kertas teratas.    
Ting….nong…bel rumah berbunyi, keyakinan akan hadirnya sosok yang telah dirndukan pun makin memuncak, rasa tak sabar disertai getaran dan detak jantung yang begitu hebat dirasakan, seolah mengirimkan pertanda bahwa sosok tersebut sedang berada di luar pintu rumah. Ibunya beranjak dari duduknya dan ingin segera membukakan pintu, tetapi Liana mencegah bak seorang yang dilanda rasa penasaran bertahun lamanya. Liana pun membuka pintu, dan….dilihatnya seorang lelaki, ia mengenalinya,,. ”Ayah”, Teriak Liana. Namun sang ayah hanya tersenyum sekedar membalas teriakan, tak sepatah kata pun keluar. Ayahnya masuk dan segera menuju kamar diikuti sang ibu. Liana dan adiknya tak dapat berbuat apa-apa, hanya berdiam dan menunggu. Tak lama suara-suara lirih terdengar, dilanjutkan dengan tangisan, Liana dan adiknya saling berpandangan. Suara lirih ibu liana, semakin lama, semakin kuat terdengar, keduanya makin takut, sampai akhirnya ayah keluar dan mempersilahkan seorang wanita masuk ke dalam rumah. Kini semua yang ada di dalam rumah hanya bisa menangis, “ayah menikah lagi”, lirih sang ibu. Liana tak menyangka, rasa cinta dan kerinduan yang selama ini dipendam, tak lagi dapat dicurahkan sepenuhnya. Kesal menyelimuti perasaan bangga terhadap sosok yang sangat dirindukan. Tak ada kata manis, tak ada kecupan manja, semuanya berubah…” kenapa kau lebih memilih dia daripada aku mas??”, Tanya ibu. Liana tercengang, dan pikirannya pun buyar..laksana gelembung buih yang pecah di terjang ombak. Ternyata cinta itu telah tiada, cinta itu direnggut, cinta itu kini nestapa. Cinta Liana pergi menjauh, mencari tempat lain untuk berlabuh.       

About Author Muhammad Fathir Ma'ruf Nurasykim

Writing is one way that you can interact with the world wisely

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Start typing and press Enter to search