Cerita Inspiratif Tak Ada Lagi Cinta
Oleh M. Fathir Ma’ruf Nurasykim
Bel sekolah telah berbunyi, Liana tersenyum seakan
mengaminkan waktunya pulang ke rumah. Masa bodoh, ia melemparkan tasnya ke arah
sofa di ruangan tamu. Sofa dengan corak bulu harimau sumatera dan di atas meja
ada sisa roti dan teh yang masih hangat. Televisi menyala namun seakan tak
berfungsi, tak ada yang menontonnya. Hidupnya yang serba kecukupan, segala
permintaan selalu terpenuhi, membuat Liana merasa setara dengan anak-anak yang
lain. Tidak ada ritual khusus dalam keluarganya, semuanya normal.
Siang hari itu cuaca memang sangat panas membara,
Liana masuk ke kamar dan menyalakan pendingin ruangan. Ia asik membaca sambil
berbaring di atas kasur nan empuk, lembut. Tanpa terasa, matanya mulai
menunjukkan tanda menyerah, Liana terus melawan rasa kantuk yang hebat. Mungkin
jadwal belajar sekolah yang padat membuatnya kelelahan, dan ketika kedua
matanya ingin mengaminkan rasa kantuk yang luar biasa, terdengar suara piring
jatuh, Braaak…pecah.
Ia tersentak dan rasa kantuknya hilang dengan sekejap,
tanpa perlu berjuang menaklukannya. Hingga ia bergegas menuju dapur, dilihatnya
pecahan piring berserakan, tidak tahu pasti ke mana menyebar serakan kacanya.
Namun, ia berusaha mencari dan mengutip serpihan-serpihan kecil itu. Dalam
hatinya, ‘ini dapat membahayakan siapa saja yang akan ke dapur. Terbesit ragu
dan curiga di hati, suara pecahan piring itu terus menganggu pikirannya karena
berhasil menggagalkan tidurnya. Tetapi, tidak ada satu orang pun terlihat panik
untuk segera mendatangi pecahan-pecahan itu. Ia segera mencari ibunya di ruang
tamu, lantai atas dan juga di dalam kamar. Ibu tidak ada di tempat-tempat itu,
tidak ada satu orang pun yang. Ia bergegas ke dapur ingin memastikan bahwa teori kucing yang telah
menjatuhkan piring di dapur benar.
Sampai sore tiba dan jarum jam menunjukkan pukul
15.30, matanya masih bergelut dengan situasi yang sedang terjadi di rumahnya.
Sibuk mondar-mandir dalam ruangan, tak mengerti apa yang dicari, penat pun
singgah di tubuhnya, spontan mencari kursi sofa tamu di samping jendela panjang
berkaca gelap. Walaupun penat cukup hebat dirasa, ia tetap melihat ke arah luar
jendela, jalan yang sunyi setapak sesekali terdengar suara motor yang jalan.
Bunyi kringan bel sepeda dikendarai oleh ibu-ibu petani yang berjajar dari
ladang hendak pulang ke rumah, topi ladang yang dipakai dan baju sederhana, ia
melihat wajah-wajah lelah yang luar biasa. Liana bergumam dalam hati ternyata
nasib baik ia dan keluarganya dapat hidup senang dan cukup. Akhirnya pun ia
menyerah dengan ketiduran di atas sofa kesukaan hadiah dari ayahnya 2 bulan
yang lalu. Begitu juga dengan sepeda punya adiknya yang terletak di sudut
ruangan kosong tempat gudang pakaian. Sesekali ia meminjam sepeda itu, walau
pertengkaran tak jarang terjadi sifat manja mereka. Padahal semua fasilitas
yang ada sudah lebih dari cukup untuk mereka. “Apa lagi yang lebih buruk selain melewati liburan di
rumah berdua saja dengan Ando?” katanya. Dan, sering kali, Liana yang menjadi korbannya.
Waktu terus berjalan, maghrib pun tiba, alarm jam
dinding berbunyi menandakan jam enam tepat, seketika matanya terbuka, linglung
seolah kehilangan sesuatu, ia pandangi seseorang yang sedang duduk
disampingnya, ibunya memandanginya sambil memberikan elusan hangat di
kepalanya, tersenyum menggambarkan sedang terjadi kehangatan dua hati yang
saling terikat batin. “ Hai bidadariku, bidadari ibu kecapekan ya, banyak
kegiatan disekolah tadi siang”, tanya ibunya. “Ya bu, padat sih kegiatannya,
gak ada istirahat, apalagi jurnal mading sekolah udah naik, tetapi belum di
edit akibat editor sibuk”, jawab Liana sambil cemberut centil.
Ibunya menawarkan menu makan malam kesukaannya, tampak
kasih sayang dan dukungan yang luar biasa untuk Liana dari seorang ibu yang
hebat. Suasana hangat di malam yang dingin karena hujan rintik, sekadar memberi
minum pada tanaman hias di pekarangan, tak payah untuk menyiramnya esok. Sebuah
keluarga berkumpul, menimbulkan semangat positif yang seakan masuk tembus menghujam
diri mereka. Sesekali, ibu melempar tatapan sejuknya, lengkaplah sudah ditambah
dengan dinginnya malam, betapa senangnya ia. Ia lihat adiknya saling merebut
masakan ala ibu yang tak ada tandingannya. Kata-kata yang selalu keluar dari mulut
Liana jika ingin merayu ibunya untuk memasak makanan yang seleranya. Bagaimanapun
hangatnya suasana malam itu, tetap Liana tidak merasakan kehadiran seorang
ayah. Ayah yang pada malam itu terhitung satu minggu sudah, tidak melihat
aktivitas anaknya, tidak bersama-sama dalam suasana. Sedih, tapi Liana dapat
merasakan betapa lebih sedih ibunya, ayah yang menjadi teman ibu, yang selalu
berada di sampingnya, menjaganya, sebelum ia ada, belum kunjung pulang,
sesekali Liana melihat wajah ibunya, tampak jelas rona kelelalahan, sesekali
air mata ibunya keluar jatuh ke lantai, saat itu pula wajah Liana menatap
kearah air yang suci, “surgaku yang ada di rumah”, dalam hatinya,. Ia dapat
merasakan betapa rindu dan sedihnya ibu, tapi kekhawatiran itu sirna, saat ia
sadar bahwa ia masih memilki ibu yang kuat dan tangguh. Malaikat nyata yang
siap membela anaknya, walaupun ia harus terluka. Kekuatan do’a yang selalu
diajarkan ibunya selepas menghadap Ilahi selalu ia ulang, walau terasa sulit
bagi Liana untuk menghapalnya. Tapi ia terus berusaha dan pantang menyerah, ia
tak ingin sedikitpun melihat ibunya kecewa.
Ibu yang menjadi sandaran dalam mengarungi hidupnya.
Setiap hari selalu terbayang akan cita-cita yang ingin di capai. Ia kembali ke
kamar, mencari sesuatu yang ia naggap penting untuk saat ini di rak buku
pemberian ayahnya. Entah apa yang ia cari, hanya Liana yang tahu. Mengadu
dengan buku dan pena, terjatuh air matanya membasahi lembaran-lembaran kertas.
Ia berusaha tegar, melawan bayangan-bayangan semu dalam benaknya. Ia percaya
Tuhan masih sayang kepadanya. Namun usaha itu sia-sia, jauh di dalam bayangan
dan angan ia harapkan sosok seseorang, hadir di tengah-tengah mereka, pelukan
dan kecupan manja yang ia rindukan itu, kini jarang ia terima seperti dulu.
Kehangatan itu sirna, dan baru ia sadari ternyata semua itu bisa lenyap dan tak
ada yang abadi. Ia bertanya pada ibunya, “kapan ayah akan pulang bu?”. Ibunya
hanya bisa menjawab, “Pekerjaan ayah banyak nak, ia sibuk, ia pun sebenarnya ingin
segera pulang, tapi pekerjaannya menuntutnya. Ayah juga bekerja untuk memenuhi
keperluan kamu, adikmu dan keperluan kita semua”. Teraut di wajah Liana kecewa,
namun ia tetap berusaha menerima keadaan itu. Ibunya sudah menjelaskan semua
apa adanya, mereka semua sabar menunggu kedatangan sang bapak untuk pulang ke
rumah. Adiknya pun mendekati sang ibu dan
mendekapnya. Ibunya berkata, “kalian harus belajar dengan
sungguh-sungguh agar bisa menjadi orang yang berguna bagi nusa dan
bangsa”. Perkataan itu seperti sebuah
suntikan bagi Liana untuk tidak lagi bermain-main, tidak lagi malas-malasan
dalam belajar.
Dia terpana dan melamun ketika melihat tulisan-tulisan
puisinya dahulu. Betapa lucu tulisan tentang cinta, cintanya kepada ayah dan
ibunya. Walaupun untaian kata itu tak tersusun rapi seperti seorang penyair.
Cukup lah memuaskan batin seorang anak remaja seperti Liana. Tatapan matanya
seakan bercerita, cercah-cercah cahaya yang menjadi lentera saat gulita
melanda. Rasa yang tak pernah puas. Demikian lah Liana, terkadang senyum dan
sedihnya turut silih berganti menghiasi ratapan dinding rumah yang tak bersuara
dihempas derasnya hujan dan angina. Mencoba berganti peran dengan sang adik
namun tak biasa lagi. Karena orang yang mengganti perannya sedang tidak ada di
rumah. Seperti pelakon dalam drama. Tak ada habis-habisnya pertanyaan itu,
hingga ia pun menyimpan nestapa cintanya sendiri. Cinta yang seharusnya di beri
dan di terima. Cinta yang seharusnya saling berbagi dan mengayomi tumbuh subur
disirami benih-benih canda dan tawa. Kini sirna tak ada apa-apa. Bakti anak
yang tak terbalaskan bukan karena arogan namun terpisahkan oleh ruang dan waktu
yang dengan ganasnya memisahkan kasih-sayang seorang anak kepada idolanya.
Tempat mengadu itu sedang tidak ada di rumah dan akan lama kembali. Putus
pengharapannya, hanya lembaran-lembaran sisa kertas menjadi tempat mengadu batin
yang terluka dan perih dirtinggalkan.
Gemericik desah di tebas putus oleh kejamnya suasana, yang seharusnya bersahaja, ia tak sanggup lagi menggoreskan tinta-tinta pena,
tangannya bergetar hebat. Air mata jatuh berlinang membasahi secarik kertas
teratas.
Ting….nong…bel rumah berbunyi, keyakinan akan hadirnya
sosok yang telah dirndukan pun makin memuncak, rasa tak sabar disertai getaran
dan detak jantung yang begitu hebat dirasakan, seolah mengirimkan pertanda
bahwa sosok tersebut sedang berada di luar pintu rumah. Ibunya beranjak dari
duduknya dan ingin segera membukakan pintu, tetapi Liana mencegah bak seorang
yang dilanda rasa penasaran bertahun lamanya. Liana pun membuka pintu,
dan….dilihatnya seorang lelaki, ia mengenalinya,,. ”Ayah”, Teriak Liana. Namun
sang ayah hanya tersenyum sekedar membalas teriakan, tak sepatah kata pun
keluar. Ayahnya masuk dan segera menuju kamar diikuti sang ibu. Liana dan
adiknya tak dapat berbuat apa-apa, hanya berdiam dan menunggu. Tak lama
suara-suara lirih terdengar, dilanjutkan dengan tangisan, Liana dan adiknya
saling berpandangan. Suara lirih ibu liana, semakin lama, semakin kuat terdengar,
keduanya makin takut, sampai akhirnya ayah keluar dan mempersilahkan seorang
wanita masuk ke dalam rumah. Kini semua yang ada di dalam rumah hanya bisa
menangis, “ayah menikah lagi”, lirih sang ibu. Liana tak menyangka, rasa cinta
dan kerinduan yang selama ini dipendam, tak lagi dapat dicurahkan sepenuhnya.
Kesal menyelimuti perasaan bangga terhadap sosok yang sangat dirindukan. Tak
ada kata manis, tak ada kecupan manja, semuanya berubah…” kenapa kau lebih
memilih dia daripada aku mas??”, Tanya ibu. Liana tercengang, dan pikirannya
pun buyar..laksana gelembung buih yang pecah di terjang ombak. Ternyata cinta
itu telah tiada, cinta itu direnggut, cinta itu kini nestapa. Cinta Liana pergi
menjauh, mencari tempat lain untuk berlabuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar