Bimbingan Konseling Konseling Individual, Mengungkapkan Perasaan Melalui Verbal
A. DEFINISI PERASAAN
1. KBBI perasaan adalah 1. Hasil atau perbuatan meraba
dengan panca indra: bagaimana menurutmu, badan saya ataukah dingin?. 2.
Rasa atau keadaan batin sewaktu menghadapi (merasai sesuatu: bekerja dengan
gembira hasilnya akan memuaskan). 3. Kesanggupan untuk merasa atau merasai:
sangat tajam. 4. Pertimbangan batin (hati) atas sesuatu; pendapat: padaku,
itu tidak benar.
2. Koentjaraningrat (1980) perasaan adalah suatu keadaan
dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai
keadaan positif dan negative . selain itu dalam pandangan dirganusa, perasaan
(feeling) mempunyai 2 arti. Ditinjau
secara fisiologis, perasaan adalah pengindraan, sehingga merupakan salah satu
fungsi tubuh untuk mengadakan kontak dengan dunia luar. Dalam psikologis,
perasaan mempunyai fungsi menilai, yaitu
penilaian terhadap terhadap sesuatu hal. Makna penilaian ini tampak misalnya
“saya rasa nanti sore hari akan hujan”
Jadi,
menurut pemakalah perasaan itu melalui panca indra, cotohnya ketika seorang
dokter memeriksa suhu badan pasiennya, kemudian menyentuh pasiennya dan
merasakan bagaimana suhu badan pasien, kemudia dalam psikologis perasaan adalah
penilaian terhadap sesuatu hal, contohnya : sepertinya saya akan lulus
mengikuti ujian komputer.
<
>
1. Simpati
Simpati
adalah kecenderungan untuk merasakan seperti perasaan orang lain (feeling with
another person). Istilah simpati dipergunakan untuk mksud yang bermacam-macam,
disini simpati diartikan “menempatkaan diri kita secara imajinatif dalam posisi
orang lain”. dari definisi ini haus dipahami bahwa kita tidak mengambil peran
orang lain atau membayangkan bagaimana orang lain berfikir atau merasa, tetapi
kita hanya merujuk bagaimana kita sendiri berfikir atau merasa dalam situasi
yang sama. Misalnya, jika saya memberitahukan kepada anada bahwa bibik saya
baru saja meninggal dunia, anda bersimpati kepada saya dengan membayangkan
bagaimana anda merasa jika bibi anda meninggal dunia. Definisis tidak terbatas
pada penderitaan saja, simpati terjadi juga jika saya ceritakan kepada anda
bahwa saya baru saja mendapat warisan satu milyar rupiah dan anda menanggapinya
dengan membayangkan bagaimana perasaan anda jika anda menjadi jutawan.
Contohnya: saya pernah menanyai satu kelompok (yang
dianggap) murid sekolah menengah kelas menengah tentang apa yang mereka lakukan
untuk rekreasi, jika mereka tumbuh besar dalam perkampungan orang miskin. Degan
cepat, beberapa siswa menjawab dengan respon proyektif seperti “bowling atau
berenang atau naik mobil berputar-putar”. Saya sampaikan bahwa orng-orang
miskin tidak memiliki fasilitas itu, juga tidak ada uang untuk melakukannya.
Kelas menjadi sunyi. Kemudian, seorang anak berbicara dengan nada simpati yang
jelas lebih canggih: “jogging!”.
2.
Empati
Empati adalah ikut ambil bagian dalam perasaan orang lain,
dan dirasakan seolah-olah ikut mengalaminya (feeling into a person). Empati
berkenaan dengan bagaimana kita membayangkan pikiran dan perasaan orang lain
dari perspektif mereka sendiri. Dalam empati, kita memperhatikan perasaan orang
lain, dalam simpati orang memperhatikan penderitaan orang lain, tetapi
perasaannya adalah perasaaannya sendiri. Tetapi, perhatikanlah bahwa simpati
disini tidak terbatas pada kasus penderitaan. Perbedaan anaara simpati dengan
simpati bukan saja dalam tingkatnya dan bukan saja subjek perhatiannya.
Perbedaan terletak pada perspektif yang diasumsikannya. Empati sering
didefinisikan sebagai berada pada posisi orang lain.[1]
Contohnya: saya ikut merasakan apa yang kamu rasakan.
C.
PERBEDAAN PERASAAN, PRASANGKA DAN EMOSI
perasaan
Max Scheler
membagi perasaan dlm 4 golongan:
1. Perasaan
pengindraan (ex: panas, dingin, sakit)
2. Perasaan
vital (ex: lesu, segar)
3. Perasaan
psikis (ex: senang, sedih)
4. Perasaan
pribadi (ex: perasaan terasingkan)
W.
Stern,pembagian perasaan :
1.
Perasaan yang bersangkutan dengan
masa kini
2.
Perasaan yang bersangkutan dengan
masa lampau
3.
Perasaan yang bersangkutan dengan
masa yg akan datang
E.B.
Titchener, ciri-ciri perasaan :
1. Perasaan dpt dilihat intensitasnya
ex: sangat jengkel, agak jengkel
2. Perasaan dpt dilihat kualitasnya ex:
bisa membedakan perasaan sedih dan gembira
3. Perasaan menghinggapi seseorang untuk jangka waktu tertentu Ex: perasaan yg sebentar hilang dan ada
perasaan yg lama hilangnya.
Prasangka
Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal dari bahasa
Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan (Hogg, 2002).
Chambers English Dictionary (dalam Brown, 2005) mengartikan prasangka sebagai
penilaian atau pendapatyang diberikan oleh seseorang tanpa melakukan
pemeriksaan terlebih dahulu. Hal senada juga diberikan oleh Hogg (2002), yang
menyatakan bahwa prasangka merupakan sikap sosial atau keyakinan kognitif yang
merendahkan, ekspresi dari perasaan yang negatif, rasa bermusuhan atau perilaku
diskriminatif kepada anggota dari suatu kelompok sosial tertentu sebagai akibat
dari keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Karakteristik dan perilaku aktual
dari individu hanya sedikit berperan. Baron dan Graziano (1991) mendefinisikan
prasangka sebagai suatu sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu. Dalam
hal ini, Baron dan Graziano (1991) menyatakan bahwa prasangka merupakan aspek
yang penting dari hubungan antar kelompok. Burchell dan Fraser (2001) juga
mendefinisikan prasangka sebagai sikap negatif atau sikap tidak suka terhadap
suatu kelompok dan anggotanya.[2]
Emosi
Pengertian Emosi :
1.
Suatu kondisi biologis,
psikologis an fisiologi dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak
2.
Emosi bersifat lebih
intens dibanding perasaan, sehingga perubahan jasmaniah yang ditimbulkan oleh
emosi lebih jelas dibandingkan perasaan.
3.
Perasaan menunjukkan
suasana batin yang lebih tenang ibarat hembusan angin sepoi-sepoi
Teori-teori
Emosi
1. Teori Emosi Dua-Faktor (Schacher Singer)
berorientasi pada rangsangan ex:
kita tidak merasa marah karena ketegangan otot kita, rahang kita berderak,
denyut nadi kita menjadi cepat, dsb, tetapi karena kita secara umum jengkel dan
kita mempunyai berbagai kognisi tertentu ttg sifat kejengkelan kita yg
membentuk suatu emosional.
2. Teori emosi
James-Lange emosi timbul setelah
terjadinya reaksi psikologik. ex: kita
senang krn kita meloncat-loncat setelah melihat pengumuman, dan takut krn kita
lari setelah melihat ular.
3. Teori
“Emergency” Cannon gejolak emosi itu
menyiapkan seseorang untuk mengatasi keadaan yg genting, orang-orang primitif
yg membuat respon semacam in bisa survive dlm hidupnya. emosi (sebagai pengalaman subjektif
psikologik) timbul bersama-sama dgn reaksi fisiologik (hati berdebar, tekanan
darah naik, nafas bertambah cepat)
4. Teori Kepribadian emosi merupakan
suatu aktifitas pribadi, dimana pribadi tidak dapat dipisahkan dalam jasmani
dan psikis sebagai dua substansi yg terpisah.
dikemukakan oleh J. Linchoten [3]
D. PERANAN PERASAAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Salah satu
segi paling membahagiakan dalam berkomunikasi dengan orang lain adalah
kesempatan untuk saling bebagi perasaan. Mengalami suatu perasaan dan
mengungkapkannya kepada orang lain bukan saja merupakan sumber kebahagiaan,
melainkan juga merupakan salah satu kebutuhan demi kesehatan psikologis kita.
Dengan mengalami dan saling berbagi perasaan, kita menciptakan dan
mempertahankan persahabatan yang intim dengan sesama.
Perasaan
adalah reaksi internal kita terhadap aneka pengalaman kita. Perasaan ini sering
disertai perubahan-perubahan fisiologis tertentu, seperti denyut jantung yang
meningkat dan juga memiliki tanda-tanda luar, seperti menitikkan air mata
karena haru bahagia. Perasaan selalu merupakan pengalaman internal dan kita
menggunakan bentuk-bentuk tingkah laku terbuka tertentu untuk
mengkomunikasikannya kepada orang lain. Misalnya, kita bersorak untuk
mengungkapkan perasaan gembira. Namun, tidak jarang kita mengalami kesulitan
untuk mengungkapkan perasaan-perasaan. Misalnya, seorang mahasiswa yang kelu
lidahnya tatkala hendak mengungkapkan perasaan cintanya kepada seorang gadis,
kendati teman kuliahnya sekalipun. Sebaliknya, sering kita juga mengalami
kesulitan mengendalikan pengungkapan perasaan kita. Misalnya, seorang gadis
yang merona wajahnya mendengar sanjungan dari pemuda yang menjadi idamannya.
Kita memang perlu belajar mengungkapkan perasaan-perasaan kita secara tepat.
Johson
(1981) mengemukakan suatu model lima tahap pengungkapan perasaan dalam
komunikasi. Menurutnya, setiap kali kita berkomunikasi dengan orang lain maka
sebenarnya paling sedikit terjadi lima macam proses sebagai berikut :
1. Kita mengamati (sensing) tingkah laku lawan
komunikasi kita. Dengan alat-alat indera yang kita miliki, kita mengumpulkan
informasi tentang lawan komunikasi kita. Misalnya, ia mengatakan apa saja,
bagaimana nada suaranya, bagaimana sorot matanya, raut mukanya, gerak-gerik
tubuh dan tangannya dan sebagainya. Pada tahap ini, informasi tersebut
semata-mata bersifat deskriptif dan semua itu kita rekam dalam pikiran dan hati
kita.
2. Kita menafsirkan (interpreting) semua informasi
yang kita terima dari lawan komunikasi kita itu. Kita menentukan makna dari
kata-kata dan perbuatannya. Cara kita menafsirkan informasi ini ditentukan oleh
sedikitnya tiga faktor, yakni :
a. Informasi itu sendiri, misal kata-kata yang keluar dari
mulut lawan komunikasi kita
b. Dugaan kita tentang hal-hal yang menyebabkan tingkah laku
lawan komunikasi kita itu; misal, ia mengeluarkan kata-kata keras, mungkin
karena sedang ada masalah dirumah atau dikantor
c. Sudut pandang kita sendiri; misal, kita punya keyakinan
bahwa tidak ada manusia yang sempurna
3. Kita mengalami perasaan tertentu (feeling) sebagai
reaksi spontan terhadap penafsiran kita atas informasi yang kita terima dari
(dan tentang) lawan komunikasi kita. Melanjutkan contoh kita diatas, misalnya
kita merasa kasihan pada lawan komunikasi itu.
4. Selanjutnya kita akan terdorong untuk menanggapi
(intending) perasaan kita itu. Dalam diri kita terbentuk intensi yang akan
mendorong dan mengarahkan kita untuk berbuat sejalan dengan perasaan kita.
Intensi inilah yang membimbing tindakan-tindakan yang akan kita lakukan
sebagaibentuk pengungkapan perasaan kita. Jadi, sesudah merasa kasihan, maka
timbul dalam diri kita niat untuk menolong atau menghibur lawan komunikasi
kita.
5. Mengungkapkan (expressing) perasaan kita itu. Kita merasa kasihan,
berniat menghiburnya. Sekalipun menerima kata-kata keras, kita justru mendekati
dan meneguhkannya sebagai ungkapan rasa simpati terhadap kawan kita itu.
Jadi, baik
kata-kata maupun perbuatan dan perilaku nonverbal lain yang kita lakukan dalam
konteks seperti di atas, tidak lain sebagai pengungkapan dari sensasi,
interpretasi, perasaan dan intensi-intensi kita.
E. AKIBAT YANG TIMBUL BILA PERASAAN TIDAK DIUNGKAPKAN
Salah satu
faktor yang sering menjadi penghambat dalam membangun hubungan antarpribadi
yang intim adalah kesulitan mengkomunikasikan perasaan. Kita selalu mengalami
perasaan tertentu terhadap lawan komunikasi kita maupun terhadap pengalaman
bersama yang kita hayati dalam komunikasi, namun sering kita tidak mampu
mengkomunikasikan perasaan kita itu secara efektif. Aneka masalah dalam
komunikasi muncul terutama bukan karena perasaan yang kita alami itu sendiri,
melainkan karena kita gagal mengkomunikasikannya secara efektif.
Perasaan-perasaan itu justru kita sangkal, kita alihkan, kita sembunyikan atau
kita represikan. Berikut ini adalah beberapa akibat yang mungkin timbul bila
perasaan-perasaan tidak kita sadari, tidak kita terima atau tidak kita
ungkapkan secara konstruktif.
1. Menyangkal dan menekan perasaan dapat menciptakan aneka
masalah dalam hubungan antarpribadi
2. Menyangkal dan menekan perasaan dapat menyulitkan kita
dalam memahami dan mengatasi aneka masalah yang terlanjur timbul dalam hubungan
antarpribadi
3. Menyangkal perasaan dapat meningkatkan kecenderungan kita
untuk melakukan persepsi secara selektif
4. Menyangkal perasaan dapat menimbulkan distorsi atau
penyimpangan dalam penilaian kita
5. Dalam pengungkapan perasaan yang tidak lugas-efektif
sering justru tersirat tuntutan-tuntutan tertentu. Misalnya, seorang ibu yang
bersikap “overprotective” karena terlampau menyayangi anaknya. Dalam situasi
seperti ini justru dapat timbul sejenis “adu kekuasaan”, sebab setiap pihak
merasa memiliki “kekuasaan”, atau kendali tertentu atas pihak yang lain.
Konkretnya, si anak dapat memanfaatan kecintaan sang ibu terhadapnya untuk
mengajukan macam-macam tuntutan,
sebaliknya si ibu dapat memainkan posisinya sebagai sumber pemuas kebutuhan
dalam rangka mengendalikan anaknya.
Di pihak
lain, harus kita akui pula bahwa demi alasan tertentu, misalnya sopan-santun,
masyarakat sering menuntut kita untuk menyangkal atau menekan perasaan-perasaan
kita. Hal ini teristimewa berlaku dalam kebudayaan Timur pada umumnya dan
kebudayaan Indonesia-Jawa khususnya. Penerimaan sosial ini sering harus kita
bayar cukup mahal dengan mengorbankan kehidupan perasaan kita yang sehat-wajar.
F. MENGUNGKAPKAN PERASAAN SECARA VERBAL
Ada dua cara mengungkapkan perasaan,
yaitu secara verbal dan nonverbal. Yang dimaksud secara verbal adalah dengan
menggunakan kata-kata, baik yang secara langsung mendeskripsikan perasaan yang
kita alami maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud secara nonverbal adalah dengan
menggunakan isyarat lain secara kata-kata, misalnya sorot mata, raut muka,
kepalan tinju, dan sebagainya. Untuk mengungkapkan perasaan dengan baik,
pertama kita harus menyadarinya, lalu menerimanya, kemudian mengungkapkannya
secara wajar dan terkontrol. Menurut Johnson, kalau kita tidak menyadarinya
atau sengaja kita tolak perasaan-perasaan tersebut akan terungkap juga secara
tidak langsung dalam bentuk-bentuk seperti berikut :
a. Mencap atau memberikan label. Misalnya kita tidak senang pada seorang teman yang suka
menyela pembicaraan orang. Untuk mengungkapkannya, kita mencap teman itu “suka
bikin onar”.
b. Memerintah.
Misalnya kita merasa tersinggung oleh komentar yang diberikan oleh seorang
teman. Untuk mengungkapkan perasaan kita, kita berkata kepada teman itu, “Diam
kau!”.
c. Bertanya.
Perasaan tersinggung yang disebut pada nomor (b) di atas juga dapat diungkapkan
dalam bentuk pertanyaan, misalnya: “Anda ini paham yang saya maksud apa
tidak?”.
d. Menuduh.
Misalnya, kita sangat kecewa karena tidak berhasil menemukan bend yang sedang
sangat kita butuhkan. Untuk mengungkapkannya, kita menuduh teman sekamar kita,
“kamu yang mengambil dan menyembunyikannya, ya!”
e. Menyindir (sarkasme).
Seorang gadis iri pada teman sekamarnya yang punya banyak teman lelaki. Untuk
mengungkapkan perasannya itu, pada kesempatan berkumpul bersama semua penghuni
asrama ia sering berkata kepada teman-teman lain didepan teman sekamarnya itu,
“kalau mau tau kiat memikat teman pria, silahkan datang kekamar saya, lho”.
f. Memuji.
Seorang pemuda merasa tertarik pada seorang gadis, namun malu menyatakan
perasaannya itu secara terang-terangan. Untuk mengungkapkannya, setiap kali
bertemu ia selalu memuji, “wah baju anda serasi sekali”, “wah potongan rambut
anda manis sekali”, dan sebagainya.
g. Mencela.
Seorang sekretaris senior tidak menyukai rekannya yang masih muda. Untuk
mengungkapkan perasaannya, setiap kali ada kesempatan sekecil apapun selalu
dipakainya untuk mencela teman barunya itu, “ketikan anda ceroboh sekali”,
“lain kali kalau bicara sama bos lebih sopan dong”.[4]
G. BAHASA VERBAL WANITA
Hasil
pengamatan sepintas mengenai sosialisasi wanita ditengah masyarakat telah
menghasilkan berbagai stereotip tentang perilaku komunikasi mereka, misalnya
wanita berbicara lebih sopan dari pada pria, pembicaraan mereka tidak tegas,
lebih sering bergosip daripada pria, bertele-tele, lebih emosional dan lebih
terperinci.
Hasil
intropeksi dan observasi Robin Lakoff (1975) dalam Mulyana (1999), bahwa wanita
mempunyai bahasa tersendiri dengan ciri-ciri berikut :
a. Kosakata khusus yang berkaitan dengan minat mereka,
misalnya dibandingkan pria mereka mengenal lebih banyak warna, seperti magenta,
chartreuse, ecru, mauve, puce
b. Kata-kata sifat yang hambar (empty adjectives), seperti divine,
charming, cute, sweet, adorable, lovely
c. Kalimat-kalimat dengan menggunakan ekor tanya (tag
question), seperti “sarah is here, isn’t she?”alih-alih “is sarah here?”
d. Kata-kata penguat (intesifiers), misalnya so, very
e. Berbagai kata atau frase yang melemahkan, seperti “it is
sort of hot in here”; it seems like...
f. Tata bahasa dan ucapan yang hiperkorek (resmi)
g. Frase-frase yang sangat sopan, seperti” i’d really
appreciate it if...”; “would you please...” dan sebagainya.
h. Kutipan langsung, alih-alih para frase sendiri.
i.
Intonasi
pertanyaan dalam konteks deklaratis, misalnya sebagai jawaban atas pertanyaan “when
will the dinner be ready?” adalah “Arround 6 o’clock?” seolah-olah
mencari persetujuan dan bertanya apakah waktu tersebut sesuai[5]
H. BAHASA WANITA VS BAHASA PRIA
BERDASARKAN PENELITIAN
Bahasa Wanita
|
Bahasa Pria
|
Mengubah topik secara bertahap
|
Sering mengubah topik secara
tiba-tiba
|
Menata pembicaraan secara
kooperatif
|
Menata secara kompetitif
|
Terlibat dalam “pembicaraan
hubungan” (perasaan atau memelihara hubungan)
|
Terlibat dalam “pembicaraan
laporan” (faktual atau dunia olahraga)
|
Wanita lebih banyak mengenal nama
warna (magenta)
|
|
Tidak setegas bahasa pria (is Amelia here?)
|
|
Kurang percaya diri (so, very,
maybe, perhaps, dll)
|
|
Sering menggunakan kutipan
langsung dari pada paraphrase
|
|
lebih banyak menggunakan
pertanyaan
|
I. MENGUNGKAPKAN EKSPRESI DI BERBAGAI MACAM NEGARA
Jika orang
Amerika menyapa orang lain dengan ucapn “Hi! How are you?” orang Jepang sering
menyapa satu sama lain dengan ucapan “kono aida wa domo arigato gozaimashita”
(“terima kasih atas kebaikan Anda yang lalu”). Konsep megucapkan terima kasih
alih-alih mengatakan “Apa kabar?” merupakan konsep yang aneh bagi banyak orang asing.
Orang Jerman
tidak suka dengan wacana (baik ucapan ataupun tulisan, termasuk iklan), yang
berbunga-bunga atau terlalu artistic, apalagi yang memanipulasi. Iklan-iklan
surat kabar padat dengan fakta, rincian, sehingga kesannya bertele-tele.
Tujuannya adalah agar pembaca benar-benar memahami apa yang diinginkan.
Katja Lantzsch, seorang asisten riset dan mahasiswa S3 di
ifmk-TU, Ilmenau, Jerman, mengakui bahwa hanya ada satu ekspresi untuk
mengatakan l love you dalam bahasa Jerman, yakni ich liebe dich, sedangkan
dalam bahasa Perancis terdapat beberapa ekspresi, seperti Je t’aime dan Je
t’adore. Dalam bahasa Indonesia pun, terdapat beberapa ekspresi lain untuk
mengatakan “Aku cinta padamu,” seperti “saya sayang kamu,” aku mengasihimu,”
”gua demen ame elu,” dan sebagainya.[6]
Kesimpulan
Cara kita mengungkapkan perasaan antara lain tergantung
pada kesadaran dan penerimaan kita terhadap perasaan-perasaan kita tersebut,
serta kemampuan kita untuk mengungkapkannya secara konstruktif. Bila tidak kita
insafi atau sengaja kita tolak, perasaan-perasaan tersebut nantinya akan
terungkap juga secara tidak langsung, dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :
1. Mencap dan memberikan lebel.
2. Memerintah.
3. Bertanya.
4. Menuduh.
5. Menyindir.
6. Memuji.
7. Mencela.
DAFTAR PUSTAKA
Sihabudin, Ahmad, komunikasi antar budaya, 2013, jakarta,
bumi aksara
Supratiknya, komunikasi antar pribadi (tinjauan
psikologis), 1995, kanisius
Deddy Mulyana
& Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antarbudaya, 2006, Bandung, PT remaja rosdakarya
Deddy
mulyana, komunikasi efektif (suatu pendekatan lintasbudaya), 2005, Bandung, pt remaja rosdakarya
staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/aprilia-tina.../emosi-dan-perasaan.pdf
repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/23488/Chapter%20II.pd?sequence...
[1] Deddy Mulyana & Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antarbudaya,
2006, Bandung, Pt remaja rosdakarya.
[3] staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/aprilia-tina.../emosi-dan-perasaan.pdf
[4] Supratiknya, komunikasi antar pribadi (tinjauan psikologis), 1995,
kanisius
[5] Sihabudin, Ahmad, komunikasi antar budaya, 2013, jakarta, bumi
aksara, hlm : 95
[6] Deddy mulyana, komunikasi efektif (suatu pendekatan lintasbudaya),
2005, Bndung, pt remaja rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar